MEWUJUDKAN SUKSES PESTA DEMOKRASI MELALUI PARTISIPASI PEMILIH YANG BAIK


logo pemilu 2014

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah sebagai ungkapan rasa syukur kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul MEWUJUDKAN SUKSES PESTA DEMOKRASI MELALUI PARTISIPASI PEMILIH YANG BAIK.

Makalah ini disusun dalam rangka  memenuhi kelengkapan dan persyaratan wajib mengikuti proses pencalonan sebagai anggota KPUD Kabupaten Pasaman periode 2013 – 2018.

Penulis banyak mendapatkan dukungan, arahan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak dalam penyusunan makalah.

Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan selanjutnya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Lubuk Sikaping, 1 April 2013

 

 

Makmur Efendi

DAFTAR ISI

Kata pengantar

Daftar isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

B. Komisi Pemilihan Umum

C. Syarat keanggotaan

BABII PEMBAHASAN

  1. Sistem politik
  2. Manajemen kepemiluan
  3. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang politik

BABIII PENUTUP DAN KESIMPULAN

  1. Penutup
  2. Kesimpulan

Daftar pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Pemilihan umum (Pemilu) merupakan program pemerintah setiap lima tahun sekali dilaksanakan di seluruh wilayah Negara kita. Pemilu merupakan implementasi dari salah satu ciri demokrasi dimana rakyat secara langsung dilibatkan, diikutsertakan didalam menentukan arah dan kebijakan politik Negara untuk lima tahun kedepan.

Selanjutnya Pemilu diataranya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:

  1. Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;
  2. Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
  3. Bahwa pemilihan umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan /Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian juga dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1ayat 1 disebutkan bahwa: “pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945. Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut, dalam ayat 3 ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang melandasi kewenangan dan tindakan pemerintah suatu negara, yaitu kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah; kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam pemilihan-pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas.

Banyak pengertian mengenai Pemilu atau pemilihan umum tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pada saat ini pemilu secara nasional dilakukan dua macam yaitu pemilihan anggota legislatif (Pileg) dimana rakyat memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga legislatif baik anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Disamping itu diselenggarakan pula Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat sesudah Pemilihan anggota legislatif dilaksanakan.

Selain hal tersebut masing-masing daerah juga dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) baik Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta Pemilihan Bupati/Walikota dan Wakilnya yang langsung dipilih oleh rakyatnya juga.

  1. KOMISI PEMILIHAN UMUM

Komisi Pemiluhan Umum yang disingkat KPU adalah badan penyelenggara pemilihan umum yang bebas dan mandiri sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. (Pasal 1 Angka 6 UU Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan penjelmaan dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diresmikan keberadaannya oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang disahkan pada 1 Februari 1999. Pasca-Pemilu 1999, terjadi perubahan tentang komposisi keanggotaan KPU yang     diatur lewat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Secara Rahasia mungkin, KPU yang ada sekarang merupakan KPU keempat yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1945. KPU pertama (1999 – 2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie.

KPU kedua (2001 – 2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.

 KPU ketiga (2007 – 2012) dibentuk berdasarkan Keppres No 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota yang berasal dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti dan birokrat dilantik tanggal 23 Oktober 2007 minus Syamsulbahri yang urung dilantik Presiden karena masalah hukum.

Untuk menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009, image KPU harus diubah sehingga KPU dapat berfungsi secara efektif dan mampu memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil tersebut merupakan faktor penting bagi terpilihnya wakil rakyat yang lebih berkualitas, dan mampu menyuarakan aspirasi rakyat.

Sebagai anggota KPU, integritas moral sebagai pelaksana pemilu sangat penting, selain menjadi motor penggerak KPU juga membuat KPU lebih kredibel di mata masyarakat karena didukung oleh personal yang jujur dan adil.

Tepat 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya penyelenggaraan Pemilu 2004, muncul pemikiran di kalangan pemerintah dan DPR untuk meningkatkan kualitas pemilihan umum, salah satunya kualitas penyelenggara Pemilu. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU dituntut independen dan non-partisan.

Untuk itu atas usul insiatif DPR-RI menyusun dan bersama pemerintah mensyahkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu. Sebelumnya keberadaan penyelenggara Pemilu terdapat dalam Pasal 22-E Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak mana pun.

Perubahan penting dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, meliputi pengaturan mengenai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; serta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang sebelumnya diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan kemudian disempurnakan dalam 1 (satu) undang-undang secara lebih komprehensif.

Dalam undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu diatur mengenai KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum yang permanen dan Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. KPU dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya. KPU memberikan laporan Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu juga mengatur kedudukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara Pemilihan Umum yang bersifat ad hoc. Panitia tersebut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum dalam rangka mengawal terwujudnya Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Dalam rangka mewujudkan KPU dan Bawaslu yang memiliki integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.

Di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, jumlah anggota KPU adalah 11 orang. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, jumlah anggota KPU berkurang menjadi 7 orang.

Pengurangan jumlah anggota KPU dari 11 orang menjadi 7 orang tidak mengubah secara mendasar pembagian tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban KPU dalam merencanakan dan melaksanakan tahap-tahap, jadwal dan mekanisme Pemilu DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, komposisi keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen). Masa keanggotaan KPU 5 (lima) tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji.

Penyelenggara Pemilu berpedoman kepada asas : mandiri; jujur; adil; kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi dan efektivitas.

Perjalanan waktu membuktikan kemudian, ternyata Penyelenggara Pemilu 2009, Menghadapi Masalah Kredibilitas. Pemilu 2009 akan dikenang sebagai pemilu terburuk pasca-Orde Baru. Harapan banyak pihak, bahwa KPU akan lebih independen dan lebih profesional setelah ditopang UU No. 22/2007, luruh setelah hasil seleksi calon anggota KPU diumumkan.

Sebab, tim seleksi bentukan Presiden SBY menghasilkan orang-orang yang tidak memiliki rekor baik dalam mengurus pemilu, sehingga sejak dilantik KPU menghadapi masalah kredibilitas.  Setelah pemilu selesai, tidak ada yang bisa menolak hasilnya, tetapi legetimasinya selalu dipertanyakan karena banyak pemilih yang tidak bisa memilih. Sehingga Pemilu 2009 menurut pengumuman KPU bahwa total jumlah daftar Pemilih tetap untuk memilih legislator mencapai 171.265.442 orang, sementara yang menggunakan hak Pilihnya mencapai 121.588.366 orang sedangkan yang terhitung Golput sebesar 49.077.076 orang.

Penyelenggara Pemilu 2009 adalah KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota,  Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota.

  1. SYARAT KEANGGOTAAN

Bila ditelusuri lebih jauh nampaknya masalah ketidakpercayaan publik berhulu kepada 3 (tiga) sumber masalah. Pertama, intergitas proses dan integritas hasil pemilu dipermasalahkan. Kedua, lemahnya kepemimpinan KPU. Ketiga, ancaman independensi KPU.

Sejumlah indikator dapat ditunjuk sebagai sumber masalah integritas proses dan hasil pemilu. Di antaranya adalah tahapan pemilu yang tidak tepat waktu, data yang dipublikasikan KPU tidak akurat (data jumlah partai politik calon peserta pemilu, data jumlah caleg DPR, dan data DPT), sejumlah regulasi KPU belum siap pada tahap yang ditentukan, dan data hasil pemilu yang berubah-ubah.

Sementara masalah lemahnya kepemimpinan KPU dalam menyelenggarakan pemilu ditandai beberapa indikasi. Di antaranya adalah koordinasi antar Anggota KPU tidak solid, sikap masing-masing Anggota KPU yang berbeda-beda ke publik, koordinasi yang lemah antara Anggota KPU dengan Sekretariat Jenderal KPU, dan sikap KPU yang tidak jelas memberi kepastian kepada jajaran KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Selain itu ancaman independensi KPU menjadi masalah yang selalu disorot publik. Masalah independensi KPU itu ditandai sejumlah indikator berikut yaitu kapasitas Anggota KPU diragukan publik sebagai penyelenggara pemilu, posisi KPU yang lemah menghadapi pemangku kepentingan pemilu, sikap KPU yang sangat bergantung kepada Pemerintah dan DPR, dan keberpihakan sejumlah personil penyelenggara pemilu di semua tingkatan.

Cara pemilihan calon anggota KPU-menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu-adalah Presiden membentuk Panitia Tim Seleksi calon anggota KPU tanggal 25 Mei 2007 yang terdiri dari lima orang yang membantu Presiden menetapkan calon anggota KPU yang kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengikuti fit and proper test. Sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (3) Undang-undang N0 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9 Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU. Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis. Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.

Kredibilitas KPU jatuh pada penghujung Pemilu 2009,  kinerjanya mengecewakan, kemandiriannya dipertanyakan. DPR menggunakan hak interpelasi untuk menyelidiki banyaknya warga negara yang tidak bisa memilih, lalu mengganti UU No. 22 tahun 2007 dengan UU No. 15 tahun 2011. Mereka tidak percaya lagi pada kelompok nonpartisan sehingga undang-undang baru mempersilakan orang partai masuk menjadi penyelenggara pemilu. Pasal ini memang dihapus oleh MK, namun pembengkakkan kelembagaan pengawas dan penegak kode etik, yang awalnya diniatkan untuk menampung orang-orang partai, tidak bisa dianulir.

Pola hubungan KPU dengan KPU Provinsi, KPU Provinsi dengan KPU Kabupaten/Kota memang tidak sejalan dengan pola hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah, di mana titik tekan otonomi berada di kabupaten/kota. Karena itu, pemerintahan kabupaten/kota bukan merupakan bawahan dari pemerintahan provinsi.

Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa secara operasional rezim otonomi daerah memang berbeda dengan rezim pemilu; yang pertama mengedapankan karakter daerah dan partisapasi dari bawah, sedangkan yang kedua menekankan persamaan prosedur yang diterapkan dari atas ke bawah guna menjamin perlakuan yang sama bagi setiap warga negara untuk mengunakan hak pilihnya. Dengan demikian, pemilu  yang menuntut persamaan standar nasional, baik dalam bentuk teknis pelaksanaan maupun sistem manajemen, sebetulnya mampu menjadi pengikat nasional dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional.

Penyelenggara Pemilu 2014 menghadapi tantangan untuk memulihkan kembali kepercayaan. Ini kesempatan kedua bagi kelompok nonpartisan untuk membuktikan diri mampu menjadi penyelenggara pemilu yang independen dan profesional.

Penyelenggara Pemilu 2014 terdiri atas KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

 

Penguatan KPU

Berdasarkan pemetaan masalah dan sumber masalah yang dihadapi KPU periode lalu, maka nampaknya penting direkomendasikan sejumlah strategi penguatan KPU. Pertama, meningkatkan koordinasi antar Anggota KPU, antara Anggota KPU dengan Sekretariat Jenderal, dan antara KPU dengan jajaran KPU di daerah. Kedua, meningkatkan kapasitas, dan kualitas penyelenggara pemilu. Ketiga, memperkuat komitmen integritas personil penyelenggara pemilu. Keempat, memperkuat komunikasi dan keterbukaan KPU kepada publik dan pemangku kepentingan pemilu. Kelima, memastikan KPU menyusun regulasi KPU yang memberikan jaminan kepastian hukum. Keenam, memastikan KPU menyediakan aspek fundamental logistik pemilu. Ketujuh, menjamin KPU memberikan jaminan ketersediaan sejumlah data yang akurat. Kedelapan, memastikan KPU sebagai pemimpin dalam penyelenggaraan pemilu dengan membuat kerangka kerja dukungan pihak-pihak di luar KPU. Kesembilan, menjamin KPU bekerja dalam kerangka rencana kerja operasional yang matang dan terukur.

Secara teknis operasional KPU ke depan perlu mengambil langkah-langkah strategis yang responsif terhadap perkembangan penyelenggaraan pemilu.

  1. KPU perlu membentuk semacam kelompok kerja (pokja) yang menangani secara teknis perkembangan Pemilukada di berbagai daerah. Langkah ini penting mengingat penyelenggaraan Pemilukada berlangsung setiap saat. Bahkan nanti pada tahun 2013 persis seperti keadaan pada tahun 2008 di mana terdapat 12 provinsi yang menyelenggarakan Pemilukada Gubernur, belum lagi Pemilukada Bupati/Walikota. Setidaknya lebih dari 50% (lebih dari separuh jumlah pemilih) terlibat dalam Pemilukada Gubernur di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lampung, Sumatera Selatan dan lain-lain. Ketangkasan menangani Pemilukada 2013 akan menjadi modal penting dalam menghadapi Pemilu 2014.
  2. KPU perlu membentuk pokja persiapan Pemilu 2014 yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu 2014. Hal-hal strategis yang harus segera dipersiapkan di antaranya adalah peraturan KPU sebagai pelaksanaan undang-undang, rekrutmen penyelenggara pemilu di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan dan petugas pemutakhiran data pemilih yang nantinya menjadi anggota KPPS, tentu saja beserta rangkaian pelatihan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah persiapan anggaran pemilu berbasis kepada kebutuhan riil dan perubahan dinamika harga.
  3. KPU harus segera membangun komunikasi politik. Komunikasi politik ini dilaksanakan dalam dua garis, yaitu komunikasi politik secara vertikal dan horisontal. Komunikasi politik vertikal dilakukan oleh KPU ketika berkomunikasi, berkoordinasi, dan pengendalian terhadap KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota PPK, PPS dan KPPS secara bertingkat.

Komunikasi politik horisontal yang harus dilakukan oleh KPU adalah membangun komunikasi politik dengan berbagai pihak, yaitu: (1) masyarakat/pemilih berkaitan dengan informasi kegiatan pemilu dan pelayanan pemilih; (2) peserta pemilu; (3) Badan/Panitia Pengawas Pemilu; (4) lembaga pemantau; (5) media massa; (6) pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal ini gubernur, bupati dan walikota, serta DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota; dan (7) lembaga penegakan hukum.

Komunikasi politik ini menjadi penting, karena KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota merupakan lembaga sumber dan pembuat informasi, keputusan, dan penyelenggara pemilu di tingkat pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Dapat dikatakan bahwa kemampuan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam melakukan komunikasi politik merupakan faktor keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu.

Untuk menjamin agar anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dapat melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban dalam menyelenggarakan pemilu dengan bersikap independen, nonpartisan, tidak berpihak, transparan, akuntabel dan profesional, maka diperlukan kaidah standar perilaku bagi setiap anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. KPU harus menyusun kaidah standar perilaku bagi segenap anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari KPU, dan menetapkan pemberlakuan bagi segenap anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, serta staf jajaran sekretariat jenderal dan sekretariat, harus mentaati kaidah standar perilaku anggota KPU.

  1. SEORANG YANG IDEAL UNTUK CALON ANGGOTA KPU

Penyelenggaraan pemilu yang selama ini terkesan kaku, dengan segala kompleksitas persoalan yang mengiringinya, bagi beberapa kalangan, tentu mendatangkan kejenuhan. Intrik politik yang dibarengi kecurangan dengan menghalalkan berbagai cara, bisa memunculkan sikap apatisme pada proses pemilu itu sendiri.

Dalam konteks ini, membayangkan sebuah pemilu yang bisa menghibur dan membuat semua orang menjadi senang, bukan sekadar pemilihan (election), namun menjadi sebuah pesta demokrasi yang menghibur (electainment) menjadi tantangan tersendiri bagi KPU dan seluruh pihak yang berkepentingan dengan pemilu.

Adrian Gostick menyebutkan 10 karakteristik yang secara konsisten diperlihatkan oleh orang-orang yang integritas. Integritas adalah konsistensi antara tindakan dan nilai. Orang memiliki integritas hidup sejalan dengan nilai-nilai prinsipnya. Kesesuaian antara kata dan perbuatan merupakan hal yang esensial.

Pengembangan teori integritas sejalan dengan nilai-nilai prinsipnya, kesesuaian antara kata dan perbuatan. Pengembangan teori integritas sejalan penggunaannya dalam berebaai bidang disiplin ilmu, kehidupan sosial kemasyarakatan, bahkan politik dan pemerintahan.

Dari sisi inilah dua kutub, yakni melahirkan pemimpin ideal dan persiapan melahirkan pemimpin ideal, bisa dielaborasi lebih mendalam secara substansial bukan seremonial. Dalam kehidupan politik, integritas menjadi factor yang memiliki kedudukan penting. Hal itu pula yang kemudian menjadi tuntutan mutlak, yang harus dimiliki penyelenggara dan peserta pemilu, dalam hal ini KPU, Bawaslu dan Panwaslu, ugas dan fungsinya  dan bakal calon dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya dalam pemilu legislative (Pileg), pilpres, pilkada berikut verifikasi parpol peserta pemilu dan dukungannya pada bakal calon kepala daerah.

Sementara itu, selama melaksanakan kegiatan pemilu, lembaga penyelenggara pemilu dituntut bertindak sedemikian rupa sehingga pemilu benar-benar dapat berlangsung secara bebas dan adil (free and fair election). Berikut adalah beberapa unsur yang ditekankan IDEA International kepada lembaga penyelenggara pemilu demi mencapai pemilu yang bebas dan adil:

  1. 1.   Independensi dan Ketidakperpihakan:

Lembaga penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada arahan dari pihak lain manapun, baik pihak berwenang atau pihak partai politik. Lembaga penyelenggara harus bekerja tanpa pemihakan atau praduga politik. Lembaga ini harus mampu menjalankan kegiatan yang bebas dari campur tangan, karena setiap dugaan manipulasi, persepsi bias atau dugaan campur tangan, akan memiliki dampak langsung, tidak hanya terhadap kredibilitas lembaga penyelenggara, tetapi juga terhadap keseluruahn proses dan hasil pemilu.

  1. 2.   Efisiensi dan Efektivitas:

Efisiensi dan efektivitas merupakan komponen terpadu dari keseluruhan kredibilitas pemilu. Efisiensi dan efektivitas tergantung beberapa faktor, termasuk profesionalisme para staf, sumber daya, dan yang paling penting waktu yang memadai untuk menyelenggarakan pemilu, serta melatih orang-orang yang bertanggungjawab atas pelaksanaan teknis pemilu.

  1. 3.   Profesionalisme:

Pemilu harus dikelola oleh orang-orang yang terlatih dan memiliki komitmen tinggi. Mereka adalah karyawan tetap lembaga penyelenggara pemilu, yang mengelola dan mempermudah proses pelaksanaan pemilu.

  1. 4.   Keputusan Tidak Berpihak dan Cepat:

 Undang-undang membuat ketentuan tentang mekanisme untuk menangani, memproses dan memutuskan keluhan-keluhan pemilu dalam kerangka waktu tertentu. Hal ini mengharuskan para pengelola pemilu harus mampu berpikir dan bertindak cepat dan tidak memihak.

  1. 5.   Transparansi:

Kredibilitas menyeluruh dari suatu proses pemilu tergantung pada semua kelompok yang terlibat di dalamnya, seperti partai politik, pemerintah, masyarakat madani dan media. Mereka secara sadar ikut serta dalam perdebatan yang mewarnai pembentukan struktur, proses dan hasil pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu harus bersikap terbuka terhadap kelompok-kelompok tersebut, komunikasi dan kerja sama perlu dilakukan guna menambah bobot transparansi proses penyelenggaraan pemilu.

Meskipun standar internasional penyelenggara pemilu itu baru dirumuskan memasuki 2000-an, namun banyak negara yang sudah mempraktekkannya selama bertahun-tahun dengan beragam variasi. Penerapan prinsip-prinsip dasar bagi pembentukan lembaga penyelenggara pemilu atau komisi nasional pemilu di setiap negara memang tergantung pada perkembangan historis dan dinamika sosial politik negara yang bersangkutan.

  1. PENTINGNYA PENULISAN MAKALAH

Memenuhi persyaratan kecakapan pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu terutama dari bidang ilmu politik/pemerintahan, hukum, atau manajemen, guna terwujudnya azas pemilu yang mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalisme, profesionalisme, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas, sebagaimana diatur dalam konstitusi yang lahir di era reformasi yang dimuat dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum, kemudian dalam penggantinya UU No. 22 tahun 2007 dan edisi terakhir tertuang dalam UU No. 15 Tahun 2011 Bab II pasal 2, maka, penulisan makalah merupakan alat ukur fisik secara tertulis yang akan berkorelasi dengan rangkaian uji kelayakan dan kepatutan terhadap seorang bakal calon yang mengajukan diri untuk menempati kursi penyelenggara pemilu.

Dengan penulisan makalah terstruktur oleh bakal calon peserta penyelenggara pemilu (KPU), akan diperoleh gambaran awal komitmen untuk menunjukkan inteligensi, sikap kerja dan kepribadian dalam materi bidang politik, kepemiluan dan aturan konstitusional (perundang-undangan) dalam bidang politik secara aplikatif dan konstruktif.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. SITEM POLITIK
  1. Pengertian Sistem

Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.

  1. Pengertian Politik

            Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan. Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

3. Pengertian Sistem Politik

Sistem politik ialah berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan, kesatuan yang dimaksudkan dapat berupa negara atau masyarakat. Ada beberapa teori tentang definisi sistem politik menurut beberapa para ahli.

Teori-teori tersebut yaitu; Menurut Gabriel A. Almond, sistem politik merupakan organisasi melalui mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama mereka. Menurut A. Hooderwerf , bahwa sistem politik adalah seluruh pendirian, kelakuan dan kedudukan, sepanjang bertujuan untuk mempengaruhi isi, terjadinya dan dampak kebijaksanaan pemerintah.

Menurut David Easton, sistem politik adalah keseluruhan interaksi yang mengakibatkan terjadinya pembagian yang diharuskan dari nilai-nilai bagi suatu masyarakat .

Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.

4. Pengertian Sistem Politik di Indonesia

Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan,

Politik adalah semua lembaga-lembaga negara yang tersebut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.

Sistem politik adalah keseluruhan dari hubungan timbal balik antara berbagai lembaga yang mengatur suatu kebijakan, yang mencakup seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum, baik proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan suatu keputusan, dan lain-lain. Banyak referensi yang memberikan definisi mengenai sistem politik. Suatu negara pasti menjalankan suatu sistem politik. Yang di bahas disini adalah perbedaan antara Sistem Politik Indonesia dengan Sistem Di Politik Indonesia. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaannya.

Sistem politik Indonesia adalah sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini, Sedangkan sistem politik di indonesia adalah sistem politik yang pernah berlaku di Indonesia. Sistem politik Indonesia merupakan sistem yang dianut oleh Negara Indonesia bahkan sejak sebelum berdirinya Negara Indonesia berdasarkan suatu nilai budaya yang bersifat turun temurun yang tidak menutup kemungkinan akan mengadopsi dari berbagai nilai budaya asing yang positif bagi perkembangan sistem politik di Indonesia. Sedangkan sistem politik di indonesia adalah sistem politik yang pernah berlaku dan dilaksanakan di Indonesia pada masa lalu (history).

Sistem Politik yang pernah berlaku di Indonesia di antaranya : Sistem politik pada masa pemerintahan setelah kemerdekan. (Periode 1945-1959, masa demokrasi parlementer) Sistem politik pada masa pemerintahan Orde Lama (Periode 1959-1965, masa Demokrasi Terpimpin) Sistem politik pada masa pemerintahan (Orde Baru periode 1966-1998, masa demokrasi Pancasila era Orde Baru) Sistem politik pada masa pemerintahan reformasi dan era transisi sebelum reformasi. (Periode 1998-sekarang, era Reformasi)

  1. Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia

Jika berbicara mengenai politik, politik sendiri dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk membuat, mempertahankan, dan memperbaiki aturan yang berada dalam lingkup kehidupannya (pemerintahan).

Dengan prinsip tersebut, sistem politik dimanapun harus berasaskan kesejahteraan masyarakat. Hubungan politik dengan kesejahteraan masyarakat adalah hubungan yang tidak terlepaskan, dan merupakan  satu kesatuan pada sebuah “bangunan “. Sistem politik yang  ada di dalam  suatu negara adalah bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Selanjutnya Syarbaini menjelaskan bahwa di Indonesia, sejak awal kemerdekaan telah menyatakan dirinya demokrasi, dan dalam perjalanannya terlihat perkembangan demokrasi sebagai berikut. Pertama, demokrasi parlemener (1945-1959) yang menonjolkan parlemen dan partai politik. Pelaksanaan demokrasi ini ditandai oleh pemerintahan yang kurang stabil. Kedua, demokrasi terpimpin (1959-1965) yang menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menonjolkan aspek demokrasi rakyat serta dominasi presiden. Ketetapan MPRS No III/1963 yangmengangkat presiden seumur hidup semakin memberikan peluang untuk melakukan penyimpangan dan penumpukan kekuasaan tangannya.  Ketiga, demokrasi Pancasila (1965-1998) menjadikan Pancasila sebagai landasan ideal dan UUD 1945, ketetapan MPR sebagai landasan formal, untuk meluruskan dan mengoreksi penyimpangan demokrasi sebelumnya. Pada masa ini juga tidak lepas dari kelemahan, mengingat demokrasi hanya sebagai lipstik bagi tumbuh suburnya otoritarianisme birokrasi dan KKN /korupsi-kolusi-dan Nepotisme). Pada waktu itu juga peran militer sangat dominan, sentralisasi pembuatan keputusan, penggebiran partai-partai politik, massa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga non-pemerintah.   Keempat, transisi demokrasi yang berusaha menerapkan konsep-konsep demokrasi secara murni, yaitu keterbukaan sistem poiitik, budaya politik partisipatif egalitarian, kepemimpinan politik yang bersemangat kerakyatan, semangat menghapus KKN, partai politik yang tumbuh dari bawah, menjunjung tinggi norma-hukum, kebebasan pers, terdapat mekanisme check and balances.

Sistem politik di Indonesia kalau diperhatikan, dalam masa transisi demokrasi sampai saat ini sistem politik yang diterapkan di kehidupan nyata masih mengambang. Dari beberapa penelitian dari lembaga survei, menurutnya, 27 persen masyarakat menyatakan sistem perpolitikan Indonesia buruk. 6,8 persen mengatakan sangat buruk, hanya 34 persen mengatakan sedang saja. Serta 20 persen mengatakan situasi dan kondisinya baik.

Singkatnya, system politik Indonesia adalah Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :

1. Ide kedaulatan rakyat

2. Negara berdasarkan atas hukum.

3. Bentuk Republik.

4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi.

5. Pemerintahan yang bertanggung jawab.

6. Sistem Pemilihan langsung

7. Sistem pemerintahan presidensial

Demokrasi adalah sistem politik yang mensyaratkan simetri dan kesesuaian antara janji atau sumpah dengan tindakan politik. Ketika tindakan politik bertentangan dengan janji, perilaku bertolak belakang dengan sumpah, realitas politik berseberangan dengan hukum publik, demokrasi terdistorsi dari makna esensialnya. Di sini, demokrasi disimpangkan melalui manipulasi bahasa dan jargon, untuk menutupi aneka realitas kejahatan di dalamnya.

  1. MANAJEMEN KEPEMILUAN
  1. 1.   Pemilu

Pengertian Pemilu diataranya dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam bagian menimbang butir a sampai c disebutkan:

  1. Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;
  2. Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
  3. Bahwa pemilihan umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan /Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian juga dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1ayat 1 disebutkan bahwa: “pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945. Selanjutnya untuk mendukung ayat-ayat tersebut, dalam ayat 3 ditegaskan asas untuk mewujudkan kedaulatan rakyat yang melandasi kewenangan dan tindakan pemerintah suatu negara, yaitu kehendak rakyat hendaknya menjadi dasar kewenangan pemerintah; kehendak ini hendaknya dinyatakan di dalam pemilihan-pemilihan sejati dan periodik yang bersifat umum dengan hak pilih yang sama dan hendaknya diadakan dengan pemungutan suara rahasia atau melalui prosedur pemungutan suara bebas.

Banyak pengertian mengenai Pemilu atau pemilihan umum tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

  1. Manajemen Pemilu

Keberhasilan pelaksanaan pemilu tergantung pada tiga sukses, yaitu pertama; sukses perencanaan dan penyusunan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan. Kedua, sukses penyelenggaraan dengan bobot  kualitas pengelolaan oleh penyelenggara pemilu, dukungan pemerintah dan partisipasi masyarakat untuk memberikan hak pilihnya di TPS. Ketiga, sukses hasil sesuai standar kualitas dan kuantitas yang telah ditetapkan pada perundang-undangan, terutama menyangkut manajemen pemilu (pelaksanaan, penghitungan dan pengawasan pemilu yg benar dan efektif).

Secara garis besar ada 10 pokok materi manajemen pemilu, yaitu  kerangka hukum Pemilu; kode etik dan hubungan kerja KPU dengan KPU daerah; persyaratan pencalonan anggota legislatif; proses pencalonan; berhubungan dengan stake holder; manajemen kampanye; tata cara pemungutan suara; prosedur penghitungan suara; dan evaluasi.

  1. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN BIDANG POLITIK

Serangkaian peraturan perundang-undangan diperlukan guna menjamin penyelenggaraan pemilu yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemilu demokratis, atau dalam konsteks Indonesia sesuai dengan asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil. Mengikuti hirarki peraturan perundang-undangan, pemilu dan penyelenggaraan pemilu juga diatur oleh konstitusi atau undang-undang dasar, undang-undang, dan peraturan pelaksanaan.

Pada tingkat pertama, undang-undang dasar menetapkan lembaga-lembaga negara yang pejabatnya dipilih melalui pemilu, menentukan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu dan periodesasinya, serta menujuk lembaga penyelenggara. Pada tingkat kedua, undang-undang menetapkan tujuan pemilu yang diaturnya, menentukan penggunaan sistem pemilihan, mengatur proses pelaksanaan, serta menjamin agar setiap peraturan ditaati. Pada tingkat ketiga, peraturan pelaksanaan atau peraturan teknis, memberikan pedoman dan prosedur teknis pelaksanaan pemilu.

Penyelenggaraan pemilu tidak  berdiri sendiri, melainkan terkait dengan lembaga atau kegiatan kenegaraan lain, sehingga keberadaan undang-undang pemilu juga terkait dengan beberapa undang-undang lain. Oleh karena itu, pada bagian ini ditampilkan juga beberapa undang-undang terkait pemilu, seperti undang-undang partai politik, undang-undang lembaga negara yang pejabatnya dipilih melalui pemilu, undang-undang lembaga negara yang ikut terlibat dalam menentukan hasil pemilu, dan undang-undang pemerintahan daerah khusus yang mengatur secara khusus pemilihan kepala daerahnya. Selanjutnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang terkait dengan undang-undang pemilu juga perlu ditampilkan karena peraturan tersebut berpengaruh langsung terhadap penyelenggaraan pemilu.

Sementara itu, sejak Mahkamah Konstitusi berdiri pada 2004, beberapa undang-undang pemilu telah digugat ke lembaga tersebut untuk diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945 (judicial review). Beberapa gugatan dikabulkan sehingga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengubah ketentuan-ketentuan undang-undang pemilu, sehingga kemudian mempengaruhi proses maupun hasil penyelenggaraan pemilu. Putusan-putusan ini tentu saja perlu mendapat perhatian.

Dengan demikian, pada bagian akan ditampilkan semua peraturan perundang-undangan pemilu dan undang-undang terkait pemilu di Indonesia, serta peraturan pemerintah pengganti undang-undang, baik yang masih berlaku maupun yang sudah tidak berlaku. Undang-undang dasar dan undang-undang ditampilkan berdasarkan urutan waktu tahun terbit, di mana yang paling atas adalah yang paling baru. Keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengubah ketentuan-ketentuan undang-undang pemilu atau undang-undang terkait pemilu, juga akan ditampilkan berdasarkan urutan waktu berlaku. Sementara, peraturan pelaksanaan pemilu akan ditampilkan berdasarkan tahun pemilu, di mana tahun pemilu yang paling atas berarti berisi peraturan pemilu terakhir.

Pemilihan Umum memiliki sejarah panjang di Republik ini. Dilaksanakan sejak tahun 1955, penyelenggaraan Pemilu ini mengalami banyak perubahan pada tataran rujukan hukum bagi pelaksanaan pemilu.

Apabila kita lihat, dalam konteks pengaturan, Pemilu yang diselenggarakan sejak orde lama hingga orde baru tidak diikuti dengan adanya pergantian undang-undang pada setiap periode Pemilu, melainkan hanya perubahan. Perubahan justru banyak terjadi pada level Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan atas undang-undang. Namun, semenjak dimulainya era reformasi, undang-undang yang mengatur tentang Pemilu selalu mengalami pergantian pada setiap periode Pemilu.

Berikut ini adalah daftar peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemilu sejak pemilu tahun 1955, pemilu tahun 1971, pemilu tahun 1977, pemilu tahun 1982, pemilu tahun 1987, pemilu tahun 1992, pemilu tahun 1997, pemilu tahun 1999, pemilu tahun 2004 dan pemilu tahun 2009.

      1. Pemilu tahun 1955

  1. UU nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR
  2. UU nomor 18 tahun 1955
  3. PP nomor 9 tahun 1954 tentang Penyelenggaraan UU Pemilu nomor 7 tahun 1953

2. Pemilu tahun 1971

  1. UU nomor 15 tahun 1969
  2. PP nomor 1 tahun 1970
  3. PP nomor 2 tahun 1970
  4. PP nomor 3 tahun 1970
  5. PP nomor 28 tahun 1970

            3. Pemilu tahun 1977

  1. UU nomor 4 tahun 1975
  2. PP nomor 1 tahun 1976
  3. PP nomor 2 tahun 1976

4. Pemilu tahun 1982

  1. UU nomor 2 tahun 1980
  2. PP nomor 41 tahun 1980

5. Pemilu tahun 1987

  1. UU nomor 1 tahun 1985
  2. PP nomor 35 tahun 1985
  3. PP nomor 43 tahun 1985

6. Pemilu tahun 1992

     a. PP nomor 37 tahun 1990

7. Pemilu tahun 1997

  1. PP nomor 10 tahun 1995
  2. PP nomor 44 tahun 1996
  3. PP nomor 74 tahun 1996

8. Pemilu tahun 1999

  1. UU nomor 3 tahun 1999
  2. PP nomor 33 tahun 1999

9. Peraturan Pemilu tahun 2004

  1. UU nomor 4 tahun 2000
  2. UU nomor 12 tahun 2003
  3. UU nomor 23 tahun 2003
  4. UU nomor 20 tahun 2004
  5. Perpu nomor 2 tahun 2004
  6. Perpu nomor 1 tahun 2006

10. Peraturan Pemilu tahun 2009

  1. Peraturan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tahun 2009
 1). UU dan Peraturan KPU a)       UU nomor 10 tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tahun 2009

b)      Peraturan KPU Nomor 02 tahun 2010 tentang PAW anggota DPR dan DPD hasil Pemilu tahun 2009

c)       Peraturan KPU nomor 12 tahun 2008 tentang pedoman penelitian, veirifkais dan penetapan partai politik sebagai peserta pemilu tahun 2009

d)      Peraturan KPU nomor 17 tahun 2008 tentang penetapan alokasi kursi dan daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota dalam pemilu tahun 2009

e)       Peraturan KPU nomor 44 tahun 2008 tentang pedoman tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu

f)        Peraturan KPU nomor 20 tahun 2009 tentang perubahan atas peraturan KPU nomor 44 tahun 2008 tentang pedoman tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu

g)      Peraturan KPU 23 tahun 2008 tentang pedoman pelaksanaan sosialisasi dan penyampaian informasi pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD

h)      Peraturan KPU nomor 31 tahun 2008 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu

i)         Peraturan KPU nomor 38 tahun 2008 tentang tata kerja dewan kehormatan KPU dan KPU Provinsi

j)         Peraturan KPU nomor 40 tahun 2008 tentang partisipasi masyarakat dalam Pemilu anggoat DPRD, DPD dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

k)       Peraturan KPU nomor 45 tahun 2008 tentang pemantau dan tata cara pemantauan pemilu2). Pendaftaran Pemiliha)       Peraturan KPU nomor 10 tahun 2008 tentang tata cara penyusunan daftar pemilih untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota

b)      Peraturan KPU nomor 11 tahun 2008 tentang tata cara penyusunan daftar pemilih bagi pemilih di luar negeri

c)       Peraturan KPU nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan atas  Peraturan KPU nomor 10 tahun 2008 tentang tata cara penyusunan daftar pemilih untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota

d)      Peraturan KPU nomor 17 tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan KPU nomor 11 tahun 2008 tentang tata cara penyusunan daftar pemilih bagi pemilih di luar negeri3). Pencalonana)       Peraturan KPU nomo 13 tahun 2008 tentang tata cara penelitian, verifikasi dan penetapan calon perseorangan dalam pemilu 2009

b)      Peraturan KPU nomor 18 tahun 2008 tentang tata cara pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota4). Kampanyea)       Peraturan KPU nomor 19 tahun 2008 tentang pedoman kampanye pemilu anggota DPR

b)      Peraturan KPU nomor 1 tahun 2009 tentang pedoman pelaporan dana kampanye partai politik peserta pemilu

c)       Peraturan KPU nomor 12 tahun 2009 tentang pedoman kampanye di luar negeri

d)      Peraturan KPU nomor 19 tahun 2009 tentang petunjuk pelaksanaan kampanye pemilu anggota DPR

e)       Peraturan KPU nomor 22 tahun 2009 tentang pedoman pelaksanaan audit laporan dana kampanye

f)        Peraturan KPU nomor 23 tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan KPU nomor 1 tahun 2009 tentang pedoman pelaporan dana kampanye partai politik peserta pemilu

g)      Peraturan KPU nomor 25 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Peraturan KPU nomor 1 tahun 2009 tentang pedoman pelaporan dana kampanye partai politik peserta pemilu5). Pemungutan dan penghitungan suaraa)       Peraturan KPU nomor 3 tahun 2009 tentang pedoman teknis pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS

b)      Peraturan KPU nomor 11 tahun 2009 tentang pedoman teknis pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di luar negeri

c)       Peratruan KPU nomor 13 tahun 2009 perubahan atas Peraturan KPU nomor 3 tahun 2009 tentang pedoman teknis pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS

d)      Peraturan KPU nomor 18 tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan KPU nomor 11 tahun 2009 tentang pedoman teknis pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di luar negeri

e)       Susunan dalam satu naskah peraturan KPU nomor 3 tahun 2009 sebagaimana diubah oleh peraturan KPU nomor 13 tahun 20096). Rekapitulasi dan Penetapan Hasila)       Peraturan KPU nomor 46 tahun 2008 tentang pedoman teknis pelaksanaan rekapitulasi penghitungan hasil perolehan suara di kecamatan, kabupaten, dan provinsi, serta tingkat nasional dalam pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Porvinsi dan DPRD Kab/Kota tahun 2009

b)      Peraturan KPU nomor 15 tahun 2009 tentang pedoman teknis penetapan dan pengumuman hasil pemilu, tata cara penetapan perolehan kursi, penetapan calon terpilih dan penggantian calon terpilih dalam pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Porvinsi dan DPRD Kab/Kota tahun 2009

c)       Peraturan KPU nomor 26 tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan KPU nomor 15 tahun 2009 tentang pedoman teknis penetapan dan pengumuman hasil pemilu, tata cara penetapan perolehan kursi, penetapan calon terpilih dan penggantian calon terpilih dalam pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Porvinsi dan DPRD Kab/Kota tahun 2009

  1. Peraturan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009

2)     UU nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

3)     Peraturan KPU nomor 10 tahun 2009 tentang Jadwal dan Tahapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 

4)     Peraturan KPU nomor 14 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Daftar Pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009

5)     Peraturan KPU Nomor 28 tahun 2009 tentang Tata Cara Kampanye Pilpres

6)     Peraturan KPU Nomor 29 tahun 2009 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pilpres tahun 2009

7)     Peraturan KPU Nomor 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Rekapitulasi  Perolehan Suara dalam Pilpres tahun 2009

8)     Peraturan KPU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pedoman Sosialisasi Pilpres

9)     Peraturan KPU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2009 tentang Jadwal dan Tahapan Pilpres

10)  Peraturan KPU Nomor 48 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 28 Tahun 2009tentang Tata Cara Kampanye

11)  Peraturan KPU Nomor 50 tahun 2009 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye

12)  Peraturan KPU nomor 52 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 29 tahun 2009 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pilpres tahun 2009

13)  Peraturan KPU Nomor 53 tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan KPU nomor 46 tahun 2009 tentang Pedoman Pemungutan dan Penghitungan SUara di Luar Negeri

14)   Peraturan KPU Nomor 55 tahun 2009 tentang Pedoman Audit Laporan Dana Kampanye Pilpres

  1.  Peraturan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

1)  Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004

11. Peraturan Pemilu tahun 2014

  1. UU nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik
  2. UU nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu
  3. UU nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Lampiran Peta Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi
  4. Peraturan komisi pemilihan umum Nomor : 01 tahun 2010 Tentang Perubahan atas peraturan komisi pemilihan umum nomor 05 Tahun 2008 tentang tata kerja komisi pemilihan umum, Komisi pemilihan umum provinsi, dan komisi pemilihan umum Kabupaten/kota sebagaimana diubah dengan peraturan komisi Pemilihan umum nomor 21 tahun 2008 dan peraturan komisi pemilihan Umum nomor 37 tahun 2008
  5. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 09 Tahun 2010  Tentang Pedoman Penyusunan Tahapan, Program, Dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah
  6. Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2010 Tentang Perubahan atas peraturan komisi pemilihan umum Nomor 72 tahun 2009 tentang pedoman tata cara pelaksanaan Pemungutan dan penghitungan suara pemilihan umum Kepala daerah dan wakil kepala daerah Di tempat pemungutan suara
  7. Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012  tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014
  8. Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.

BAB III

PENUTUP DAN KESIMPULAN

  1. PENUTUP

Golongan putih (golput) atau kelompok yang tidak mau memilih diperkirakan akan meningkat pada Pemilu 2014 mendatang. Demikian analisa sejumlah pengamat politik yang memandang pesimis akan suksesnya penyelenggara pemilu dan pihak terkait yaitu pemerintah, partai politik dan kesadaran berpolitik masyarakat.

Ketua Balitbang DPP Partai Golkar, Indra J Piliang, menyatakan, “Di antara faktor yang akan mempengaruhi semakin banyaknya golongan putih, karena kejenuhan publik terhadap politik.” Hal ini dia sampaikan dalam Pelatihan Jurnalis “Peran Pers Mendorong Terciptanya Pemilu 2014 yang jujur dan adil” dihadiri wartawan media cetak dan elektronik, di Padang, Rabu (21/11/2012).

Kondisi itu, tentu tak terlepas dari kurang kepercayaan pemilih terhadap penyelenggara dan peserta pemilu, serta fakta yang diperlihatkan para elit politik di legislatif. “Kejenuhan publik terhadap politik suatu hal yang wajar saja dalam era demokrasi. Hal sudah terjadi di sejumlah negara-negara eropa,” ujarnya.

Golongan putih pada Pemilu mendatang itu, tambah dia, akan didominasi kalangan kelas menengah ke atas, yaitu pengusaha dan kaum intelektual. Dampaknya jelas terhadap tingkat partisipasi pemilih yang menurun dibandingkan pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Kemudian, kalangan politisi dalam menghadapi Pemilu 2014, diprediksi tidak akan banyak membuat media publikasi seperti baliho dan lainnya, karena uang banyak habis dan kursi tidak dapat. Perkembangan  politik ke depan, bahwa banyak kalangan profesional yang tak mau masuk ke dunia politik, karena tingginya biaya dan mempertimbangkan apa yang akan didapatnya dari partai.

Anggota KPU Sumatera Barat, M Muftie Syarfie ,mengatakan dorongan partisipasi pemilih akan menurun di Pemilu mendatang, juga ikut dipengaruhi peraturan perundang-undangan. Kemudian ada program penyuluhan terhadap pemilih pemula, serta membuat “alat permainan” yang nantinya dapat mengedukasi sehingga membuat pemilih datang ke tempat pemungutan suara. Selain itu, memberikan pelatihan terhadap kalangan insan pers tentang Pemilu, sehingga informasi terhadap tahapan dan penyelenggaraan sampai ke masyarakat.

Ketua KPU Pusat, Husni Kamil Manik, menyampaikan secara terpisah di Padang, pihaknya menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2014 mencapai 75% atau mengalami kenaikan sekitar empat persen dibanding Pemilu 2009.

Mengutip petikan wawancara Ketua KPU, Husni Kamil Manik ketika berbincang dengan pimpinan redaksi dan para pewarta Jawa Pos, di kantor Jawa Pos, Gd. Graha Pena, Jakarta, Kamis (14/2/2013) yang lalu,  tentang harapannya bahwa pemilu itu bukan hanya intrik politik, adu strategi antar kandidat untuk menjadi pemenang. Tapi harusnya juga bisa dinikmati oleh seluruh rakyat, sebagai sebuah pesta demokrasi, sebagai hiburan. Jangan lagi ada kekerasan, yang ada adalah kegembiraan. Jika penyelenggaraan pemilu dapat terlaksana seperti apa yang dibayangkannya, menurut Husni, tingkat partisipasi masyarakat juga pasti akan tinggi.

Hal ini kemudian menjadi target bagi KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri sebagaimana amanat dari Undang – Undang NKRI tersebut. Dengan keyakinan itu pula, KPU secara gamblang  memprediksi pada Pemilu 2014 nanti, tingkat partisipasi masyarakat diharapkan bisa mencapai minimal 75 persen. Angka peningkatan partisipasi masyarakat dapat terwujud  secara kuantitas maupun kualitas.

Untuk mencapai target tersebut, KPU akan menggagas program-program yang bisa dinikmati oleh masyarakat, namun dengan biaya yang relatif murah. Salah satu program yang akan menggelar oleh KPU berupa kegiatan “jalan sehat untuk pemilu sehat” yang diikuti serentak oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota se-Indonesia. Ide tersebut dianggap tidak mahal, namun menyenangkan banyak orang. Dan tidak menutup kemungkinan dilaksanakan kegiatan lain, misalnya mengadakan event-event olahraga, atau apa saja. Intinya kegiatan yang bisa menggiring persepsi dan pemahaman semua orang bahwa pemilu itu sesuatu yang menghibur bagi masyarakat.

KPU tentu saja tidak dapat mewujudkan gagasan menjadikan pemilu sebagai sebuah electainment itu sendirian. Semua pihak yang memiliki kepentingan dengan pemilu, harus turut memainkan perannya masing-masing dengan elegan dan cara-cara yang soft.

  1. KESIMPULAN

Tahapan pemilu 2014 sudah di depan mata. Undang-Undang No 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah diundangkan pada tanggal 11 Mei 2012. Ada beberapa perbedaan mendasar antara regulasi yang mengatur tentang pemilu 2014 dengan pemilu 2009. Demi kesuksesan pemilu, penyelenggara pemilu di tingkat pusat dan daerah telah melakukan berbagai kajian serta identifikasi persoalan teknis dan non teknis sebagai implikasi atas perbedaan tersebut.

Ada lima hal yang secara prinsip sangat berbeda antara Pemilu 2009 dengan Pemilu 2014, yaitu meliputi :

  1. sistem pendaftaran pemilih,
  2. peserta pemilu,
  3. pembentukan daerah pemilihan,
  4. sistem pemungutan suara dan
  5. sistem penghitungan suara.
  1. Perbedaan  pendataan pemilih pada Pemilu 2009 denganPemilu 2014

Pada Pemilu 2014, PPS mendaftar berbasis domisili (de facto). Sementara Pemilu 2009 berbasis de jure (berbasis KTP). Secara teknis hal ini tidak mudah. Apalagi di Pasal 40 UU No 8 Tahun 2012 dijelaskan bahwa bagi Warga Negara yang sudah memenuhi syarat tetapi tidak memiliki identitas apapun, maka KPU wajib mendaftar, yaitu dimasukkan kepemilih khusus. Pemilih khusus ini dicatat setelah tidak terdaftar di pemilih tambahan.

Sedangkan pemilih tambahan didaftar selambat-lambatnya H-3 (hari pemungutan suara-red), maka pemilih khusus didaftar setelah H-3. Pendaftaranpemilih khusus wajib dilakukan oleh KPU provinsi, bukan oleh KPU kabupaten/kota dan penyelenggara pemilu di bawahnya. Oleh karena itu, KPU pusat terutama harus secara hati-hati dalam membuat regulasi, agar secara teknis bisa dijalankan dan hak pilih Warga Negara yang sudah memenuhi syarat bisa terpenuhi. Terutama dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi geografis wilayah Indonesia.

Dengan adanya pemilih tambahan dan pemilih khusus, yang pendataannya masih dimungkinkan dilakukan pada H-1, maka masalah teknis  yang kemungkinan muncul dalam daftar pemilih yang akan muncul pada pemilu 2014 nanti. Dengan adanya pemilih tambahan dan pemilih khusus ini maka KPU provinsi memiliki tanggungjawab yang lebih besar tentang daftar pemilih. Misalnya, jika ada orang yang tidak memiliki kartu identitas apapun meminta untuk dimasukkan kedalam daftar pemilih khusus, maka bagaimana caranya KPU Provinsi membuktikan bahwa orang tersebut sudah memiliki hak untuk memilih, padahal dia tidak memiliki kartu identitas yang jelas.

  1. Perubahan  ketentuan untuk menjadi peserta pemilu

      Untuk menjadi peserta pemilu, partai politik calon peserta pemilu 2014 yang saat ini belum memiliki kursi di DPR RI, yaitu parpol yang tidak lolos parliamentary threshold (PT-red) pada pemilu 2009, parpol tersebut harus mendaftar di KPU. Syarat-syarat yang paling menonjol adalah parpol tersebut harus mempunyai kepengurusan di setiap provinsi dan parpol tersebut harus mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu. Ini adalah dua hal yang sangat prinsip dan harus diperhatikan oleh parpol agar lolos verifikasi.

  1. Dengan adanya perubahan daerah pemilihan, resiko politik dan resiko anggaran pada pemilu 2014

Dalam pemilu 2014, kursi DPRD Provinsi ditetapkan dari kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota, jumlah kursi per dapil 3 sampai 12 kursi. Ada ayat yang mengatakan kalau kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/ kota tidak bisa dilaksanakan (pembentukan Dapil tersebut, karena melampaui ketentuan jumlah maksimal, red.) maka dibolehkan membagi kabupaten/kota menjadi dua atau lebih dapil dengan kursi 3 sampai 12.

  1. Antisipasi  terkait perubahan dapil tersebut.

Pembuatan regulasi tentang pemilu adalah kewenangan KPU Pusat, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tinggal melaksanakan. Problem dapil merupakan kebijakan politik. Ini tidak sesederhana jika yang ada adalah kebijakan teknis. Belajar dari pengalaman pada pemilu 2004, dalam penentuan dapil pada pemilu 2014, harus bisa diterima oleh semua pihak. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota telah dilakukan kajian-kajian hukum terkait regulasi ini.

  1. Perbedaan  penghitungan suara/kursi bagi parpol.

Pada pemilu 2009 kan PT hanya diberlakukan untuk DPR RI. Untuk DPRD tidak menggunakan ketentuan PT tersebut. Sedangkan pada pemilu 2014, PT berlaku secara nasional yaitu berlaku untuk Pemilu DPR serta Pemilu DPRD Provinsi dan Pemilu DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga parpol yang secara nasional tidak memperoleh PT 3,5% sama sekali tidak dimasukkan dalam perhitungan kursi, baik DPR RI, DPRD Provinsi maupun Pemilu DPRD Kabupaten/Kota.

Kedua, untuk pemilu 2009 jika ada sisa suara DPR RI, diakumulasi di tingkat provinsi dari dapil masing-masing. Pada pemilu 2014, setelah dilihat parpol memenuhi PT 3,5% dari suara sah nasional maka parpol itu diikutkan dalam penghitungan kursi di pusat dan daerah. Bagi yang tidak memenuhi, tidak diperhitungkan sama sekali.

Alokasi kursi ada penggabungan sisa suara di tingkat provinsi, sementara pada 2014 habis di dapil bersangkutan. Artinya bagi parpol yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP-red.) maka akan diperhitungkan di tingkat awal, sisanya menjadi sisa suara. Parpol yang tidak memenuhi BPP langsung dijadikan sisa suara, maka lalu dilihat rangkingnya. Sisa suara terbanyak secara berturut-turut mendapatkan alokasi kursi yang masih tersisa, sampai sisa kursi habis

  1. Cara  memberikan  suara dalam Pemilu 2014

Teknisnya kembali ke mencoblos. Tetapi UU baru ini membatasi bahwa pada pemilu 2014, sistem pemungutan suaranya hanya diperbolehkan mencoblos satu kali. Kalau di 2004 pengaturan berapa kalinya kan dengan peraturan KPU. Demikian juga pada pemilu 2009. Ini harus dicermati oleh KPU pusat agar tidak membingungkan pemilih. Karena di pemilu sebelumnya kan boleh menandai lebih dari satu kali. Dengan menggunakan sistem proporsional terbuka, sehingga bisa memilih parpol atau calonnya, maka definisi coblos satu kali ini harus jelas.

 DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam, Prof. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rahman Arifin. 2002. Sistem Politik Indonesia, Dalam Perspektif Struktural Fungsional.             Surabaya: SIC.

Soemarno. 2002. Komunikasi Politik Sebagai Suatu Pengantar. Bandung:Mandar Maju.

Surbakti Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Syafiie, Inu Kencana. 2001. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.

Syafiie, Inu Kencana. 2003. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Huntington, Samuel P, Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang.   Jakarta:Rineka Cipta.

Budiardjo, Miriam. 1981. Partisiipasi dan Partai Politik (Sebuah Bunga Rampai).         Jakarta:PT.Gramedia.

Yves Meny and Andrew Knapp, 1998. Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, third edition, Oxford University Press.

M. Alfan Alfian, 2013, Politik Kecap nomor Satu, Universitas Nasional Jakarta.

www.kpu.go.id

www.hukumonline.go.id

http://kewarganegaraan-rosi.blogspot.com/2012/06/perbedaan-sistem-politik-di-indonesia.html

Tinggalkan komentar