Tuanku Rao


Tuanku Rao

@ Pongki Nangolngolan Sinambela:

“Genetis Batak,

Sosiologis Minangkabau


Menurut tradisi lisan Batak, Tuanku Rao adalah kemenakan yang disia-siakan Sisingamangaraja…… (Christinne Dobbin, 1992: 219)

Kutenggalamkan engkau dalam Danau Toba, bila kau selamat….. Kau juga akan mati tenggelam di lain waktu
(Cerita Rakyat tentang Tuanku Rao)

Tuanku Rao    Image by ME

Tuanku Rao Image by ME

 

Tentang asal usul Tuanku Rao sampai hari ini masih menimbulkan perdebatan.

Beberapa buah buku yang khusus meneliti tentang Tuanku Rao dan yang menyinggung sedikit tentang Tuanku Rao dalam pembahasannya, memberikan klaim asal Tuanku Rao pada dua daerah yaitu dari Batak dan dari Minangkabau. Onggang Parlindungan mengatakan bahwa Tuanku Rao berasal dari daerah Batak.

Pendapat Onggang Parlindungan ini kemudian dibantah oleh Buya Prof. DR. HAMKA dalam bukunya Antara Fakta dan hayal Tuanku Rao. HAMKA mengatakan bahwa Tuanku Rao bukan berasal dari daerah Batak. Tuanku adalah orang Minangkabau.

Sementara itu, Christinne Dobbin (1992: 218) mengatakan bahwa Tuanku Rao secara genetik adalah keturunan daerah penguasa Bakkara, Batak.

Karena interaksi yang intens dengan gerakan Paderi yang identik dengan Minangkabau dan agama Islam yang dianutnya serta area perjuangannya melawan kolonial Belanda berada di wilayah Minangkabau (tepatnya di Pasaman), membuat timbul “kesan” bahwa Tuanku Rao adalah orang Minangkabau.

Bila dilihat dari argumentasi dan dukungan fakta yang dikemukakan, pendapat Onggang Parlindungan dan Christine Dobbin lebih masuk rasional dan argumentatif.

Dalam tradisi oral history (sejarah lisan) Batak disebutkan bahwa Sisingamangaraja X mempunyai adik perempuan yang bernama Nai Hapatin. Ia kawin dengan seorang laki-laki dari klan Sisingamangaraja, Ompu Pelti. Sisingamangaraja X yang bernama asli Ompu Tua Nabolon tidak menyukai perkawinan ini.

Tidak didapatkan data latar belakang pasti mengapa beliau tidak menyukai Sisingamangaraja Ompu Pelti. Namun secara asumtif mungkin bisa dikemukakan bahwa Sisingamangaraja tidak menginginkan perkawinan ini berlangsung disebabkan mereka sama-sama satu marga, sama-sama berasal dari klan Sisinga mangaraja. Perkawinan antara satu marga merupakan perkawinan yang dianggap tabu dalam adat Batak, terutama pada masa dulu.

Untuk itu, Sisingamangaraja X berusaha menghalang-halangi agar perkawinan ini tidak jadi dilangsungkan. Karena Ompu Pelti dan adik perempuannya sama-sama keras, maka sesuai dengan adat Batak yang berpegang pada Dalih Natolu yaitu berpegang pada tiga : Marhula-hula, Mardongan Sabutuha dan Maranak Boru (O. Parlin-dungan, 1969: 59) akhirnya mereka dibuang ke daerah Bakkara selanjutnya mereka pindah ke daerah Aceh Tengah.

Padahal secara adat, hukuman yang harus diberikan bagi mereka yang melanggar adat adalah sangat berat seperti dirajam atau dipukul dengan batu sampai mati. Karena mereka berasal dari kelompok “darah biru maka huku-man yang diberikan kepada mereka hanya sebatas dibuang dalam masa tertentu. Secara sosiologis bisa saja masa tertentu tersebut bisa dilihat dari kajian stratifikasi sosial.

Didaerah “rantau” inilah anak mereka lahir, yang kemudian mereka beri nama Sipongki Na Ngolngolan yang kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Rao.

Data diataslah yang menjadi pijakan Onggang Parlindungan untuk mengatakan bahwa secara genetik Tuanku Rao adalah orang Batak. Klaim ini dibantah oleh HAMKA yang berpijak pada buku Study Over Batak an Batak Schelanden tahun 1866 yang ditulis oleh JB. Newmen Kontrelir BB (HAMKA, 1974: 239).

Di dalam buku itu dijelaskan bahwa Tuanku Rao berasal dari Padang Matinggi. Pendapat HAMKA ini kemudian diperkuat oleh hasil wawancara dengan Sya’ban Sutan Ibrahim yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah orang Padang Matinggi, Rao Padang Nunang.

Bahkan Sya’ban Sutan Ibrahim mengatakan bahwa keturunan-keturunan beliau sampai hari ini bisa ditelusuri di daerah ini. Jubah beliau masih disimpan sebagai pusaka sejarah oleh anak cucunya. Jubah tersebut adalah salah satu Jubah yang selalu dipakai oleh Tuanku Rao ketika bertempur melawan kolonial Belanda.

Bila dirunut secara objektif dan memenuhi kaedah-kaedah epistimologis yang dilakukan Onggang Parlindungan, maka bisa didapatkan kesimpulan bahwa Sipongki Na Ngolngolan alias Tuanku Rao adalah orang Batak. Beliau berasal dari marga Sinambela dari keturunan Sisingamangaraja. Dalam masyarakat Minangkabau tidak ada dikenal marga atau suku Sinambela. Lain ceritanya apabila Tuanku Rao berasal dari Marga Lubis atau Tanjung.

Namun terlepas dari perdebatan mengenai asal usul Tuanku Rao diatas, dalam konteks tema tulisan ini, Tuanku Rao bisa ditempatkan sebagai salah seorang ulama Minangkabau.

Bisa saja secara genetik beliau tidak berasal dari darah Minangkabau, akan tetapi area perjuangannya dan “peristirahatannya yang terakhir berada di daerah Minangkabau.

Bisa saja secara genetik beliau adalah orang Batak, tapi secara sosiologis beliau bisa dikategorikan sebagai orang Minangkabau.

Si Pongki “Tuanku Rao” Na Ngolngolan : Interaksi Ajaran Islam hingga Gerakan Paderi di Minangkabau

Setelah Tuanku Rao lahir, orang tuanya membawa beliau ke kampung halamannya di tanah Bakkara dan menitipkan kepada kakeknya dari pihak ayah. Sementara itu, kedua orang tua Tuanku Rao kembali lagi ke Aceh Tengah. Kabar kepulangan adik beserta kemenakannya membuat “luka lama” Sisingamangaraja kambuh lagi. Rasa benci dan harga diri yang tercoreng membuat Sisingamangaraja kemudian berusaha membunuh kemenakannya dengan jalan membuang Tuanku Rao ke tengah-tengah Danau Toba.

Sebelum dibuang, tubuh Tuanku Rao diikat dengan tali yang diberati oleh batu. Namun niat Sisingamaraja tersebut tidak kesampaian karena setelah diikat dengan tali yang diberati batu tersebut dan dibuang ke Danau Toba, Tuanku rao berhasil melepaskan ikatan tali itu dan langsung berenang ke tepian. Selanjutnya, mengingat keamanan diri dan kakeknya yang tidak terjamin apabila ia tetap berada di daerah Bakkara, maka Tuanku Rao berangkat menunuju Aceh Tengah dan meninggalkan kakeknya di Bakkara.

Di Aceh Tengah inilah (di daerah ini beliau tidak bergabung atau menemui kedua orang tuanya) Tuanku Rao pertama sekali mengenal dan mempelajari ajaran Islam yang pada akhirnya beliau masuk Islam. Kemudian untuk menghindari pengejaran terhadap dirinya dari antek-antek pamannya Sisinga mangaraja, maka Tuanku Rao hidup berpindah-pindah tempat dari satu tempat ke tempat lain yang didaerah tersebut tidak ada orang yang bermarga Sinambela.

Berapa lama Tuanku Rao belajar Agama Islam di Aceh ?. Menurut salah satu Sumber Lisan di daerah Rao Mapattunggul, Tuanku Rao belajar ilmu agama di Aceh sampai berumur 18 tahun dan setelah itu ia kembali ke Padang Matinggi untuk menemui sanak familinya sekaligus mulai mendakwahkan Islam kepada kalangan keluarganya dan masyarakat Batak disekitarnya. Diperkirakan Tuanku Rao pulang ke Padang Matinggi pada tahun 1801 M.

Selanjutnya beliau bekajar dari beberapa orang ulama terkenal Minangkabau abad ke-19 M., diantaranya Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin.

Fakta sejarah beliau belajar kepada beberapa ulama terkenal Minangkabau juga dikemukakan oleh Onggang Parlindungan yang mengatakan :

“Pada tahun 1804 hingga tahun 1806 Tuanku Rao belajar Tulisan Arab serta mendalami Islam dan ilmu lain dengan ulama-ulama Islam di Minangkabau seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin dan lain-lain.

Pada waktu itu ulama-ulama tersebut merupakan ulama populer yang baru pulang dari Mekkah dan memiliki gerakan yang terkenal dengan sebutan gerakan Wahabi (Onggang Parlindungan, 1969: 68).

Buku Sejarah Tuanku Rao :Terbitan LKiSImage by Makmur Effendi

Buku Sejarah Tuanku Rao :Terbitan LKiS Image by Makmur Effendi

Dengan ulama-ulama tersebut diatas, Tuanku Rao belajar secara mendalam tentang seluk beluk hukum Islam. Terhadap gerakan Wahabi yang dibawa dan dipopulerkan oleh para gurunya ini, Tuanku Rao hanya memberikan apresiasi dan menghormati pilihan media gerakan gurunya tersebut, namun Tuanku Rao tidak masuk intens ke dalam unsur gerakan yang berasal dari Saudi Arabia ini.

Disamping belajar dengan Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin, Tuanku Rao juga belajar tentang ilmu agama pada sahabat karibnya Tuanku Tambusai4 sampai ia mendapat gelar Fakih, sebuah gelar yang berarti ilmu agama yang dimiliki Tuanku Rao telah memuaskan.

Setelah kepulangannya dari Aceh dan kemudian pergi menambah ilmu keislaman kepada beberapa orang ulama terkenal Minangkabau, Tuanku Rao kemudian termotivasi dan berkeinginan untuk menegakkan kemurnian Islam di daerah Lembah Rao dan daerah sekitarnya.

Pada awal gerakannya, cita-cita Tuanku Rao hanyalah sekedar untuk memurnikan ajaran Islam yang telah disalahjalankan oleh kalangan adat. Dalam sejarah, gerakan Tuanku Rao dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Batak cenderung keras. Sikap keras beliau ini banyak yang memunculkan sikap pro dan kontra.

Area gerakan dakwah Islam Tuanku Rao tidak hanya diwilayah Rao saja, akan tetapi sampai ke daerah Tarutung, Balige, Porsea dan daerah-daerah Batak lainnya dengan pola yang cenderung sama, menyebarkan Islam dengan kecenderungan kearah kekerasan. Gaya Tuanku Rao inilah yang kemudian mendapat tantangan yang sangat serius dari kalangan adat baik di daerah Batak maupun didaerah Rao Mapattunggul.

Namun cita-cita Tuanku Rao ini, sebagaimana hanya ini juga terjadi dalam nelihat latar belakang lahirnya gerakan atau Perang Paderi di Minangkabau, mendapat tantangan berat karena adanya intervensi politik dari kalangan adat yang mengundang kolonial Belanda untuk “campur tangan”.

Mulai sejak itu Tuanku Rao bergerak dengan dua tujuan yakni memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang menyelewengkan ajaran Islam terutama kalangan adat dan mengusir kaum kolonial Belanda yang berusaha menduduki daerah Lembah Rao dan sekitarnya yang kaya akan rempah-rempah dan emas.5

Kolonial Belanda yang “bermurah hati” mau membela kepentingan kalangan adat sebenarnya menginginkan tanah dan kekayaan Lembah Rao. Sesuatu yang sebenarnya tidak disadari oleh kalangan adat ketika itu atau kalangan adat menyadari implikasi negatif yang akan ditimbulkan apabila mereka meminta bantuan kolonial Belanda menghadapi Gerakan Tuanku Rao dan Gerakan Paderi, akan tetapi mengingat eksistensi “darah biru” mereka digerogoti kalangan ulama maka implikasi negatif diatas dinafikan kalangan adat.

Sejak itu, dengan memusatkan Rao sebagai pusat gerakannya, Tuanku Rao bersama pengikutnya mulai berperang melawan kolonial Belanda yang “bertopeng” dibelakang kepentingan kalangan adat.

Kondisi perang ini makin bertambah “heroik” setelah perlawanan terhadap kolonial Belanda menjadi perlawanan kolektif dibawah payung Gerakan Paderi yang dipimpin oleh ulama kharismatis asal Bonjol, Peto Syarief yang kemudian dikenal dengan panggilan Tuanku Imam Bonjol. Dan selanjutnya, Tuanku Rao mulai bergabung dalam “arus umum” Perang Paderi dimana beliau termasuk menjadi orang kepercayaan Tuanku Imam Bonjol.

Perlawanan sengit yang diberikan Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol membuat pihak militer kolonial Belanda kalang kabut. Untuk mengantisipasi hal ini, pihak militer Belanda di daerah Pasaman meminta tambahan pasukan kepada pemerintah pusat di Batavia.

Maka pada bulan Juni 1832, pasukan Belanda dari Jawa tiba di Padang kemudian langsung diberangkatkan menuju Rao. Pasukan ini dipimpin oleh seorang opsir muda bernama Mayor van Amerongen. Kedatangan pasukan ini kemudian diketahui oleh pasukan Paderi yang berada di daerah Lembah Rao.

Tuanku Rao kemudian mengadakan perundingan kilat dengan Tuanku Tambusai dan kemudian diambil keputusan bahwa apabila pasukan Belanda datang untuk berdamai maka para pejuang Paderi akan bersikap seolah-olah akan menerima perdamaian tersebut, tetapi apabila datang dengan kekerasan maka pihak Paderi Rao-pun akan menghadapi mereka dengan kekerasan pula.

Kemudian dilakukanlah pembagian tugas. Tuanku Rao bertugas mempertahankan benteng dari jurusan Timur, Tuanku Tambusai dari jurusan Barat, Imam Perang Muhammad Jawi dari jurusan Utara dan Haji Muhammad Saman bertugas sebagai penghubung diantara mereka. Rupanya Belanda tidak menyodorkan perdamaian. Belanda menyodorkan pilihan perang atau angkat kaki dari daerah Lembah Rao. Jawaban yang diberikan pasukan Tuanku Rao dan pasukan lainnya yang tergabung dalam pasukan Paderi sudah jelas, menerima tawaran perang. Selanjutnya perang-pun terjadi.

Berpuluh-puluh kali benteng Rao diserang dari berbagai jurusan tapi berpuluh-puluh kali pula pasukan Belanda mendapat balasan yang cukup keras dari pasukan Paderi. Melihat hal ini, Mayor van Amerongen merasa khawatir dan kemudian beliau meminta tambahan pasukan ke Padang. Pasukan bantuan tambahan dari Padang tiba di Rao pada bulan September 1932, segera Mayor van Amerongen kemudian melakukan serangan besar-besaran terhadap benteng Rao.

Setelah melakukan pertempuran selama 16 hari, akhirnya benteng para pejuang Paderi terdesak. Untuk menghindari banyaknya jatuh korban, mereka kemudian mengosongkan benteng. Tuanku Rao bersama pasukannya mengundurkan diri ke Air Bangis, sedangkan Tuanku Tambusai bersama pengikutnya termasuk Muhammad Saman mundur ke arah barat memasuki daerah Mandahiling. Sedangkan benteng Rao berhasil direbut pasukan von Amerongen. Atas jasanya ini, nama benteng Rao kemudian dirubah menjadi Benteng Von Amerongen.

Kekalahan yang diderita pasukan Paderi di Rao dan jatuhnya benteng Rao ke tangan pasukan Belanda, membuat masyarakat yang ada disekitar Lubuk Sikaping merasa panas dan berencana untuk menyerang Rao serta membebaskan benteng Rao dari cengkeraman p asukan Belanda.

Sebelum penyerangan dilakukan, utusan Belanda berangkat ke Lubuk Sikaping untuk menemui para penghulu dan membujuk mereka untuk “mengamankan” serta mengurungkan rencana anak kemenakan mereka menyerang benteng Rao.

Akan tetapi para penghulu tidak mau tunduk dengan permintaan utusan Belanda ini. Akibatnya, para penghulu yang dianggap sebagai otak non-kooperatif ini ditangkap dan dipenjarakan. Tindakan ini nampak nya cukup efektif karena membuat takut masyarakat Lubuk Sikaping bertindak lebih jauh sebagaimana yang telah mereka rencanakan pada awalnya.

Kepergian Tuanku Rao dan pasukannya ke daerah Air Bangis pada tahun 1883 sebenarnya merupakan strategi untuk menyusun kekuatan kembali setelah pasukannya kalah dalam perang mempertahankan benteng Rao melawan pasukan Von Amerongen. Air Bangis merupakan daerah terjauh dari Rao di wilayah Kabupaten Pasaman.

Secara asumtif, kemungkinan besar karena pertimbangan jarak inilah, maka Tuanku Rao berfikir akan mudah menyusun kekuatan kembali untuk melawan pasukan Belanda dan merebut benteng Rao. Namun setibanya di Air Bangis, daerah pantai dan daerah dagang di pantai Barat Sumatera ini telah diduduki oleh pasukan Belanda. Kedatangannya ke Air Bangis kemudian dicium penguasa Belanda setempat. Berita kedatangan Tuanku Rao ke Air Bangis dikabarkan ke Benteng Rao di Rao Mapattunggul.

Maka segeralah dikirim seorang kurir beserta pasukan Belanda dari Rao. Kurir tersebut bernama Letnan Muda J.H.C. Schultze. Disamping mengirimkan pasukan dari Rao, bala bantuan juga dikirimkan dari Padang yang mengirim satu buah kapal perang yang bernama Circe.

Pasukan Belanda di Air Bangis dibantu oleh pasukan Letnan Muda J.H.C. Shultze serta penguasaan medan laut oleh kapal Circe, mereka mengepung ruang gerak Tuanku Rao dan pasukannya di sekitar Air Bangis. Pada akhirnya, dalam tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 19 Januari 1833, Tuanku Rao kemudian ditangkap hidup-hidup tanpa perlawanan berarti dari beliau.

Kemudian proses selanjutnya, sejarah tidak mencatat secara jelas. Bagaimana Tuanku Rao meninggal dan dieksekusi. Apakah ditembak, dirajam atau dibenamkan di laut. Kemudian dimana beliau dikuburkan. Siapa saja dari pasukannya yang mati terbunuh, kemudian apa saja kegiatan utamanya di Air Bangis, serta mengapa ia ditangkap, apakah beliau tidak bisa menghilangkan identitasnya.

Sejarah tidak mencatat secara tuntas. Yang diketahui hanyalah, Tuanku Rao ditangkap dan dihukum mati dengan cara yang sangat keras.6 Dua kata terakhir ini, kata “sangat keras” sampai hari ini belum bisa diinterpretasikan analisis sejarah makna kata tersebut. Tapi yang pasti, Tuanku Rao tidak meninggal dalam peperangan karena menurut Chritinne Dobbin, beliau ditangkap hidup-hidup dalam sebuah pengepungan yang dilakukan secara kolektif dari darat dan dari arah laut Air Bangis.

Kematian Tuanku Rao sampai hari ini, baik yang bersumber dari fakta sejarah (pendapat dari beberapa sejarawan yang pernah meneliti tentang Tuanku Rao) maupun dari cerita-cerita rakyat yang berkembang, masih dianggap sebagai sebuah kematian yang tragis dari perjalanan hidupnya yang juga tragis, keras dan penuh dinamika.

Namun kematian Tuanku Rao bukanlah kematian sia-sia. Dalam ranah sejarah Islam di Minangkabau dan Tanah Batak, “posisi dan peran” Tuanku Rao menempati posisi dan peran yang cukup penting.

Beliau adalah figur yang sangat banyak memberikan kontribusi dalam menyebarkan Islam di daerah-daerah pinggiran Minangkabau (daerah-daerah tansisi spasial Batak-Minangkabau atau daerah perbatasan kultur Minangkabau dengan Batak) dan sebagian besar daerah-daerah di Tapanuli.

Terlepas dari gayanya yang keras dalam menyebarkan agama Islam, yang pasti pembicaraan mengenai Islamisasi di Minangkabau dan daerah-daerah di Tapanuli, sejarah tidak akan bisa melupakan posisi dan peran penting Sipongki “Tuanku Rao” Na Ngolngolan ini.

Begitu juga halnya ketika kita berbicara mengenai sejarah perjuangan Indonesia dalam melawan penjajahan kolonial Belanda.

Tuanku Rao adalah seorang pahlawan yang sangat berani dalam melawan secara fisik keberadaan kolonial Belanda di daerah Pasaman dan Batak.

Bersama-sama dengan para kawannya yang tergabung dalam Gerakan Paderi, mereka “menguras” energi dan kekayaan kolonial Belanda. Perlawanan yang mereka lakukandalam rentang waktu hitungan tahun yang panjang membuat pemerintah kolonial harus mengeluarkan biaya besar.

Disamping itu, Tuanku Rao merupakan orang kepercayaan Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pahlawan nasional dari Minangkabau. Memang beliau tidak mendirikan pesantren ataupun membuat sebuah surau dengan seperangkat sistem belajar mengajar.

Beliau tidak seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Syekh Sulaiman Ar Rasuli ataupun Dr. Haji Abdul Karim Amrullah yang memiliki kesempatan membuat lembaga pendidikan dan mentransfer ilmu mereka kepada para murid secara sistematis.

Beliau juga tidak terlibat secara intens dengan perdebatan-perdebatan teologis sebagaimana halnya yang terjadi pada ulama-ulama besar Minangkabau sesudahnya. Walaupun sebenarnya pada waktu itu perdebatan teologis   “terbuka” dengan satu objek perdebatan yaitu Gerakan Wahabi.

Tapi beliau tidak begitu tertarik. Tuanku adalah “orang lapangan”. Beliau lebih suka berada diatas punggung kuda, dan menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dan tugas “laki-laki”nya yaitu berperang sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol. Maka pembicaraan tentang Peperangan Paderi, posisi dan perang penting Tuanku Rao tidak bisa dilupakan.

Sumber : (Basyral Hamidi  Harahap, 2001;  Christine   Dobbin,  1996; M.    Onggang Parlindungan,  2002; HAMKA, 1974 dan Muhammad   Ilham, “Tuanku   Rao dan  Air Bangis”,  2000)

************************************

cerita versi:

Tuanku Rao

Keturuanan Dinasti Sisingamangaraja, Panglima Perang PadriOleh : Hotman Jonathan LumbangaolRAO

KabarIndonesia – Polemik tentang Tuanku Rao sebagai salah satu keturunan Dinasti Sisingamangara adalah bermula dari buku Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar yang berjudul “Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833”. Pongkinangolngolan alias Tuanku Rao alias Umar Katab adalah anak hasil perkawinan incest antara putri Sisingamangaraja IX, Putri Gana Sinambela dengan saudara laki-laki-nya Prince Gindoporang Sinambela. Gana seharusnya memangil uda pada Gindoporang, sedangkan Gindoporang memangil Gana boru. (Tuanku Rao, hal. 59. M.O Parlindungan, 2007). Mohammad Said dalam bukunya “Si Singamangaraja XII” menjelaskan, bahwa Tuanku Rao adalah Orang Padang Matinggi dan bukan orang Batak (lihat Sisingamangaraja XII, Mohammad Said, hal 77-78). Hal itu pula yang dikatakan Buya Hamka. Gara-gara buku tersebut Buya Hamka menulis buku sangahan. Buku melahirkan buku.

MO Parlindungan menulis, karena aib itu, Ompu Sohalompoan Sisingamangaraja IX terpaksa mengusir mereka. Keduanya lari misir, menyelamatkan diri ke Singkil, Aceh. Disana lahirlah Pongkinangolgolan yang berarti menunggu terlalu lama dipengusian. Prince Gindoporang Sinambela bergabung dengan pasukan Aceh, berganti nama menjadi Muhammad Zainal Amiruddin, dan menikahi putri raja Barus. Sejak itu, Gana Sinambela membesarkan putranya seorang diri. Sepuluh tahun kisah itu Sisingamangaraja IX wafat dan digantikan anaknya, Ompu Tuan Nabolon, adek laki-laki dari Gana Sinambela menjadi Sisingamangaraja X. Aib itu sudah dilupakan, Gana dan Pongkinangolgolan diundang kembali pulang ke Bakkara.

Namun, kehadiran mereka tidak direstui tiga orang datu bolon (dukun) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manullang. Dukun itu meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh Singamangaraja X, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman pada bere yang disayanginya. Tetapi Sisingamangara X tidak tega, lalu membuat sandiwara, Pongkinangolngolan dieksekusi dilakukan dengan pura-pura ditenggelamkan ke Danau Toba. Pongkinangolngolan diikat pada sebatang pohon, lalu tali dilonggarkan dengan Gajah Dompak, sembari menyelipkan satu kantong kulit uang perak ke balik bajunya, sebagai bekal hidup.

Kemudian, Pongkinangolngolan dibawa solu (rakit) ke tengah danau dan dijatuhkan ke dalam air. Sudah pasti Pongkinangolngolan terapung hingga arus air membawanya terdampar di sungai Asahan. Tak pelak, ia ditolong dan diangkat menjadi anak oleh seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Kira-kira umur 20 tahun, ia merantau ke Angkola dan Sipirok. Merasa masih trauma dengan masa lalunya, Pongkinangolngolan merantau ke Minangkabau. Di sana ia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda.

Sementara, Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan gerakan Mazhab Hambali, meminta pada Datuk Bandaharo Ganggo untuk menyerahkan Pongkinangolngolan untuk didik. Apalagi desas-desus silsilah dari Pongkinangolngolan sebagai keturunan dinasti Sisingamangaraja telaha diketahui. Tuanku Nan Renceh menyusun siasat untuk mengIslamkan Tanah Batak. Tahun 1804, Pongkinangolngolan masuk Islam dan berganti nama Umar Katab, Katab jika dibalik terbaca Batak. Umar Katab dikirim ke Mekkah dan Syria untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mengikuti pendidikan kemiliteran sebagai kavaleri Janitsar Turki.

Tahun 1815, Umar Katab pulang dari Mekkah dan ditabalkan menjadi panglima tentara Padri dan diberi gelar Tuanku Rao, oleh Tuanku Nan Renceh. Ada yang menyebut Tuanku Rau.

Azas Manfaat

Perang Padri berawal dari pertentangan antara kaum adat dengan kaum ulama di Sumatera Barat. Semangat Padri lahir dari beberapa tokoh Islam yang mendalami Mazhab Hambali, dan ingin menerapkan di Sumatera Barat. Dalam agama Kristen, Mazhab Hambali bisa disebut mirip gerakan puritan, aliran yang memengang teguh kemurniaan ajarannya, namun tidak sama.

Pasukan Padri mengunakan pakaian warna putih-putih. Pasukan Padri yang dipimpin Tuanku Rao bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan dan Utara. Penyerbuan pertama Padri ke Tanah Batak dimulai dengan meluluhlantahkan benteng Muarasipongi yang dikuasai Marga Lubis. Diperkirakan pasukan Padri 5.000 orang pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri. Seluruh penduduk Muarasipongi dibabat habis. Basyral Hamidy Harahap yang menulis buku Greget Tuanko Rao menyebutnya mirip holocaust. Setelah Selatan dikuasai Padri, mereka hendak ke Utara yang dikuasai Sisingamangaraja. Perang ini dimamfaatkan Klan Siregar, atas dendam mereka terhadap dinasti Sisingamangaraja. Salah satu keturunan Klan Siregar adalah Jatengger Siregar bergabung dengan pasukan Padri.

Tahun 1819, dari Selatan pasukan Padri berajak ke Utara untuk menyerang kerajaan Singamangaraja X di Bakkara. Perang ke Utara dimamfaatkan beberapa pihak. Terutama bagi Klan Siregar sebagai kesempatan balas dendam. Konon, Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, pernah menyerbu pemukiman Marga Siregar di Muara. Dalam perang tanding itu Klan Siregar kalah, Raja Porhas Siregar sebagai pemimpin tewas. Sejak saat itu dendam kusumat terus terngiang pada keturunan Raja Porhas Siregar. Memang banyak yang menyebut hal itu impossible, dendam berkepanjangan sampai 26 generasi. Serangan Padri ke Dinasti Sisingamangaraja dimafaatkan Jatengger Siregar sebagai ajang balas dendam. Jatengger menyasar Singamangaraja X dan membunuhnya. Kepalanya dipenggal, ditusukkan dan ditancapkan ke tanah. Sementara, Tuanku Rao tidak terbetik menggagalkan pembunuhan terhadap tulangnya itu.

Tahun 1820, pasukan Paderi minggir dari Tanah Batak karena terjangkit virus kolera dan epidemi penyakit pes. Ada asumsi virus itu muncul sebab terlalu banyak mayat membusuk tidak sempat dikuburkan. Dari 150.000 orang tentara Padri, yang selamat hanya tersisa sekitar 30.000 orang. Lebih banyak meninggal karena virus tersebut.

Ada tiga asumsi yang bisa diambil dari kisah tersebut. Pertama perang Padri yang ingin menyebarkan agama Islam. Kedua, Klan Siregar yang memamfaatkan perang Padri membalas dendam terhadap Sisingamangara. Terakhir, ramalan datu Amantogar Manullang yang mengatakan, “Tuanku Rao akan membunuh Sisingamangaraja X terbukti, walau tidak langsung dilakukan Tuanku Rao. Tetapi Jatengger Siregar sebagai anak buah Tuanku Rao.”

*)Penulis adalah pewarta di majalah budaya Batak, tinggal di Bekasi
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Keturuanan+Dinasti+Sisingamangaraja%2C+Panglima+Perang+Padri&dn=20081008131645

 

6 Kerusakan Valentine’s Day


Alhamdulillahilladzi hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fih kama yuhibbu robbuna wa yardho. Allahumma sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 

Banyak kalangan pasti sudah mengenal hari valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day). Hari tersebut dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Perwujudan yang bukan hanya untuk sepasang muda-mudi yang sedang jatuh cinta. Namun, hari tersebut memiliki makna yang lebih luas lagi. Di antaranya kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya. Sehingga valentine’s day biasa disebut pula dengan hari kasih sayang.

Cikal Bakal Hari Valentine

 

Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul Valentine’s Day. Namun, pada umumnya kebanyakan orang mengetahui tentang peristiwa sejarah yang dimulai ketika dahulu kala bangsa Romawi memperingati suatu hari besar setiap tanggal 15 Februari yang dinamakan Lupercalia.

Perayaan Lupercalia adalah rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari).

Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata.

Pada hari ini, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan dijadikan obyek hiburan.

Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.

 

Ketika agama Kristen Katolik menjadi agama negara di Roma, penguasa Romawi dan para tokoh agama katolik Roma mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor.

Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

 

Kaitan Hari Kasih Sayang dengan Valentine

 

The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada 3 nama Valentine yang mati pada 14 Februari, seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun demikian tidak pernah ada penjelasan siapa “St. Valentine” yang dimaksud, juga dengan kisahnya yang tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.

Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan Tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Orang-orang yang mendambakan doa St.Valentine lalu menulis surat dan menaruhnya di terali penjaranya.

Versi kedua menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda untuk menikah, namun St.Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga iapun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M (The World Book Encyclopedia, 1998).

Versi lainnya menceritakan bahwa sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati sebagai pahlawan karena memperjuangkan kepercayaan), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu”.

(Sumber pembahasan di atas: http://id.wikipedia.org/ dan lain-lain)

Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan:

Valentine’s Day berasal dari upacara keagamaan Romawi Kuno yang penuh dengan paganisme dan kesyirikan.

Upacara Romawi Kuno di atas akhirnya dirubah menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day atas inisiatif Paus Gelasius I. Jadi acara valentine menjadi ritual agama Nashrani yang dirubah peringatannya menjadi tanggal 14 Februari, bertepatan dengan matinya St. Valentine.

Hari valentine juga adalah hari penghormatan kepada tokoh nashrani yang dianggap sebagai pejuang dan pembela cinta.

Pada perkembangannya di zaman modern saat ini, perayaan valentine disamarkan dengan dihiasi nama “hari kasih sayang”.

Sungguh ironis memang kondisi umat Islam saat ini. Sebagian orang mungkin sudah mengetahui kenyataan sejarah di atas. Seolah-olah mereka menutup mata dan menyatakan boleh-boleh saja merayakan hari valentine yang cikal bakal sebenarnya adalah ritual paganisme. Sudah sepatutnya kaum muslimin berpikir, tidak sepantasnya mereka merayakan hari tersebut setelah jelas-jelas nyata bahwa ritual valentine adalah ritual non muslim bahkan bermula dari ritual paganisme.

Selanjutnya kita akan melihat berbagai kerusakan yang ada di hari Valentine.

1. Merayakan Valentine Berarti Meniru-niru Orang Kafir

 

Agama Islam telah melarang kita meniru-niru orang kafir (baca: tasyabbuh). Larangan ini terdapat dalam berbagai ayat, juga dapat ditemukan dalam beberapa sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal ini juga merupakan kesepakatan para ulama (baca: ijma’).

Inilah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab beliau Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim (Ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdil Karim Al ‘Aql, terbitan Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kita menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ ، فَخَالِفُوهُمْ

“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani tidak mau merubah uban, maka selisihlah mereka.” (HR. Bukhari no. 3462 dan Muslim no. 2103)

Hadits ini menunjukkan kepada kita agar menyelisihi orang Yahudi dan Nashrani secara umum dan di antara bentuk menyelisihi mereka adalah dalam masalah uban. (Iqtidho’, 1/185)

Dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan secara umum supaya kita tidak meniru-niru orang kafir.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud.

Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman dalam Irwa’ul Gholil no. 1269).

Telah jelas di muka bahwa hari Valentine adalah perayaan paganisme, lalu diadopsi menjadi ritual agama Nashrani. Merayakannya berarti telah meniru-niru mereka.

2.  Menghadiri Perayaan Orang Kafir Bukan Ciri Orang Beriman

 

Allah Ta’ala sendiri telah mencirikan sifat orang-orang beriman. Mereka adalah orang-orang yang tidak menghadiri ritual atau perayaan orang-orang musyrik dan ini berarti tidak boleh umat Islam merayakan perayaan agama lain semacam valentine. Semoga ayat berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

 

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25]: 72)

 

Ibnul Jauziy dalam Zaadul Maysir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.

Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, maka ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’, 1/483). Jadi, merayakan Valentine’s Day bukanlah ciri orang beriman karena jelas-jelas hari tersebut bukanlah hari raya umat Islam.

3. Mengagungkan Sang Pejuang Cinta Akan Berkumpul Bersamanya di Hari Kiamat Nanti

Jika orang mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan keutamaan berikut ini.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَتَّى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

“Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab,

مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلاَةٍ وَلاَ صَوْمٍ وَلاَ صَدَقَةٍ ، وَلَكِنِّى أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

 

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan,

فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ » . قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

“Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).”

Anas pun mengatakan,

فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ

 

“Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

Bandingkan, bagaimana jika yang dicintai dan diagungkan adalah seorang tokoh Nashrani yang dianggap sebagai pembela dan pejuang cinta di saat raja melarang menikahkan para pemuda. Valentine-lah sebagai pahlawan dan pejuang ketika itu.

Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas:

“Kalau begitu engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”.

Jika Anda seorang muslim, manakah yang Anda pilih, dikumpulkan bersama orang-orang sholeh ataukah bersama tokoh Nashrani yang jelas-jelas kafir?

Siapa yang mau dikumpulkan di hari kiamat bersama dengan orang-orang kafir[?] Semoga menjadi bahan renungan bagi Anda, wahai para pengagum Valentine!

 

4. Ucapan Selamat Berakibat Terjerumus Dalam Kesyirikan dan Maksiat

“Valentine” sebenarnya berasal dari bahasa Latin yang berarti: “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Yang Maha Kuasa”. Kata ini ditujukan kepada Nimrod dan Lupercus, tuhan orang Romawi.

(Dari berbagai sumber)

Oleh karena itu disadari atau tidak, jika kita meminta orang menjadi “To be my valentine (Jadilah valentineku)”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala.

Kami pun telah kemukakan di awal bahwa hari valentine jelas-jelas adalah perayaan nashrani, bahkan semula adalah ritual paganisme. Oleh karena itu, mengucapkan selamat hari kasih sayang atau ucapan selamat dalam hari raya orang kafir lainnya adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (baca: ijma’ kaum muslimin), sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah (1/441, Asy Syamilah).

Beliau rahimahullah mengatakan, “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal atau selamat hari valentine, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan.

Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.”

 

5. Hari Kasih Sayang Menjadi Hari Semangat Berzina

Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang. Na’udzu billah min dzalik.

Padahal mendekati zina saja haram, apalagi melakukannya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

 

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’ [17]: 32)

 

Dalam Tafsir Jalalain dikatakan bahwa larangan dalam ayat ini lebih keras daripada perkataan ‘Janganlah melakukannya’. Artinya bahwa jika kita mendekati zina saja tidak boleh, apalagi sampai melakukan zina, jelas-jelas lebih terlarang.

6.  Meniru Perbuatan Setan

Menjelang hari Valentine-lah berbagai ragam coklat, bunga, hadiah, kado dan souvenir laku keras. Berapa banyak duit yang dihambur-hamburkan ketika itu.

Padahal sebenarnya harta tersebut masih bisa dibelanjakan untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat atau malah bisa disedekahkan pada orang yang membutuhkan agar berbuah pahala. Namun, hawa nafsu berkehendak lain.

Perbuatan setan lebih senang untuk diikuti daripada hal lainnya. Itulah pemborosan yang dilakukan ketika itu mungkin bisa bermilyar-milyar rupiah dihabiskan ketika itu oleh seluruh penduduk Indonesia, hanya demi merayakan hari Valentine. Tidakkah mereka memperhatikan firman Allah,

وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27).

Maksudnya adalah mereka menyerupai setan dalam hal ini. Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim)

Penutup

Itulah sebagian kerusakan yang ada di hari valentine, mulai dari paganisme, kesyirikan, ritual Nashrani, perzinaan dan pemborosan. Sebenarnya, cinta dan kasih sayang yang diagung-agungkan di hari tersebut adalah sesuatu yang semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama.

 

Perlu diketahui pula bahwa Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh pemuka Islam melainkan juga oleh agama lainnya. Sebagaimana berita yang kami peroleh dari internet bahwa hari Valentine juga diingkari di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu.

Alasannya, karena hari valentine dapat merusak tatanan nilai dan norma kehidupan bermasyarakat.

Kami katakan:

“Hanya orang yang tertutup hatinya dan mempertuhankan hawa nafsu saja yang enggan menerima kebenaran.”

Oleh karena itu, kami ingatkan agar kaum muslimin tidak ikut-ikutan merayakan hari Valentine, tidak boleh mengucapkan selamat hari Valentine, juga tidak boleh membantu menyemarakkan acara ini dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, dan mensponsori acara tersebut karena ini termasuk tolong menolong dalam dosa dan kemaksiatan.

Ingatlah, Setiap orang haruslah takut pada kemurkaan Allah Ta’ala. Semoga tulisan ini dapat tersebar pada kaum muslimin yang lainnya yang belum mengetahui. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua.

 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Panggang, Gunung Kidul, 12 Shofar 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Kaum Jahiliyah Menganggap Bahwa Menentang Pemerintah Merupakan Keutamaan


Diantara perkara jahiliyah adalah tidak mau tunduk kepada pemerintah. Orang-orang jahiliyah memandang bahwa taat kepada pemerintah adalah suatu kerendahan. Sedangkan menentang pemerintah, mereka anggap sebagai suatu bentuk keutamaan dan kebebasan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dikumpulkan di atas satu kepemimpinan disebabkan oleh sikap mereka yang tidak mau tunduk (kepada pemimpin) dan kesombongan yang ada pada mereka. 

Kemudian datanglah agama Islam untuk menyelisihi mereka. Islam memerintah untuk mendengar dan taat kepada pemerintah yang muslim, karena di dalamnya terdapat kemaslahatan.

Allah swt berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul serta pemimpin dari kalian” (An-Nisa‘:59)

Di dalam ayat ini diperintahkan untuk menaati pemerintah. Dan Rasulullah memerintahkan untuk taat dalam perkara yang baik.
Beliau bersabda:

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khalik” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Shahih Al-Jami‘)

Dan Beliau juga bersabda:

إنما الطاعة في المعروف

“Sesungguhnya ketaatan itu hanya di dalam perkara yang baik saja” (HR. Bukhari dan Muslim)

Wajib menaati pemerintah di selain perkara yang mengandung kemaksiatan kepada Allah. Jika pemerintah memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak perlu untuk ditaati, akan tetapi tidak boleh menentangnya di dalam perkara-perkara yang lain. Jadi ketidaktaatan ini khusus untuk perkara yang didalamnya mengandung kemaksiatan. Dan tidaklah bai’at kepada pemerintah digugurkan dengan sebab ini. Maka janganlah menentang pemerintah selama ia (pemerintah) seorang muslim. Sebab dengan menaati pemerintah (muslim), akan terjaga persatuan dan darah (kaum muslimin akan terjaga), serta menjadi sebab munculnya keamanan. 

Selain itu juga, orang yang didzalimi dapat meminta keadilan (kepada pemerintah) atas orang yang mendzaliminya, mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan meletakkan hukum di tengah manusia dengan penuh keadilan. Walaupun pemerintah tersebut tidak lurus agamanya, bahkan bila ia seorang yang fasik (ahli maksiat) sekalipun. Dengan catatan, selama kefasikannya itu belum sampai ke tingkat kekufuran,

sebagaimana sabda Nabi saw

اسمعوا وأطيعوا، إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم عليه من الله برهان

“Mendengar dan taatlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selama kemaksiatan yang dilakukan bukan kekufuran, maka pemerintah berhak untuk didengar dan ditaati. Adapun kefasikannya, merupakan tanggung jawab dirinya sendiri. Sedangkan loyalitas dan ketaatan kepadanya adalah untuk kebaikan kaum muslimin. 

Oleh karena itu, ketika ditanyakan kepada sebagian imam, “Sesungguhnya si Fulan fasik (ahli maksiat), akan tetapi dia seorang yang mempunyai kekuatan. Dan sesungguhnya si ‘Allan itu seorang yang shalih akan tetapi dia lemah. Mana yang diantara keduanya yang layak menjadi penguasa?” Maka mereka menjawab, “Seorang fasik tetapi kuat (lebih layak menjadi penguasa). Sebab kefasikannya akan kembali pada dirinya sendiri, sedangkan kekuatannya akan membawa manfaat untuk kaum muslimin. Adapun seorang yang shalih, sesungguhnya kesalihannya untuk dirinya sendiri, dan kelemahannya akan membawa kejelekan bagi kaum muslimin”

Maka tetap didengar dan ditaati pemimpin itu, walaupun dia seorang yang fasik (ahli maksiat), bahkan walaupun berbuat jahat dan dzalim. Rasulullah saw bersabda

أطع وإن أخذ مالك وضرب ظهرك

“Taatilah (penguasa) itu, walaupun dia merampas hartamu dan memukul punggungmu” (HR. Muslim)

 

Karena di dalam menaatinya, ada manfaat yang lebih banyak daripada kerusakannya. Dan kerusakannya yang akan ditimbulkan dari sikap penentangan kepada pemerintah lebih besar daripada kerusakan yang timbul akibat taat kepadanya, walaupun dia dalam keadaan sedang berbuat maksiat. Dampak negatif yang akan timbul dari sikap menentang kepada pemerintah adalah tertumpahnya darah, hilangnya keamanan dan bercerai-berainya persatuan.

Dan apa akibat yang diperoleh oleh orang-orang yang keluar dari ketaaan kepada para pemerintah, sebagaimana yang telah dikisahkan dalam sejarah? Apa akibat yang diperoleh tatkala terjadi fitnah dari orang-orang yang menentang Utsman ra?, ketika mereka bangkit dan memberontak serta membunuh Amirul Mukminin Utsman ra? Akibat yang diperoleh oleh mereka adalah kerendahan dan kehinaan, disebabkan mereka memberontak kepada Amirul Mukminin dan membunuhnya. Dan kaum musliminpun (sampai sekarang) senantiasa ditimpa berbagai kerendahan, kehinaan, dan kerusakan.

Dan demikian juga haknya sebagian pemerintah (yang wajib kita tunaikan) adalah kita tetap bersabar dalam menaatinya, walaupun terdapat kerusakan yang sifatnya parsial. Hal ini lebih ringan daripada keluar dari ketaatan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi saw mewajibkan untuk menaati para pemerintah, selama belum murtad dari Islam, walaupun ia seorang yang fasik dan dzalim. Kerena bersabar di atas kerusakan yang sifatnya parsial merupakan tindakan preventif terhadap munculnya kerusakan yang lebih besar. Dan mengerjakan yang paling ringan diantara dua perkara yang berbahaya untuk menolak perkara yang paling berat dari keduanya, maka ini adalah perkara yang paling ma’ruf (baik).

Inilah perbedaan antara orang-orang jahiliyah dan orang-orang Islam di dalam bersikap kepada pemerintah. Orang-orang jahiliyah berprinsip, tidak akan taat kepada pemerintah. Mereka menilai bahwa menaatinya adalah suatu kerendahan dan kehinaan. Sedangkan ajaran Islam memerintahkan untuk menaati pemerintah muslimin, walaupun pada mereka terdapat kefasikan dan kedzaliman. Islam memerintahkan agar kaum muslimin tetap bersabar terhadap sikap mereka, karena di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin.

Adapun keluar dari ketaatan kepadanya, akan mendatangkan kemudharatan bagi kaum muslimin itu sendiri. Bahkan kerusakannya lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh sikap tetap berada diatas ketaatan kepada mereka. Hal ini dengan catatan, penyimpangan yang mereka lakukan tidak mengeluarkan mereka (penguasa) dari Islam. Ini merupakan kaidah yang agung yang dibawa oleh Islam di dalam menyikapi perkara yang besar ini.

Adapun orang-orang jahiliyah, sebagaimana penjelasan yang telah lalu, tidak berpandangan akan wajibnya taat dan patuh serta terikat kepada pemerintah. Contohnya, orang-orang kafir yang menggembor-gemborkan kebebaasan dan demokrasi, apa yang terjadi pada masyarakat mereka saat ini? Di dalam masyarakat mereka terjadi tindakan kebiadaban dan kebinatangan, pembunuhan, perampokan, dekadensi moral, tindak kejahatan dan rawannya keamanan. Padahal mereka ini kategori negara-negara besar yang memiliki kekuatan di bidang senjata penghancur. Akan tatapi keadaan mereka seperti keadaan binatang, wal ‘iyyadzu billah’. Hal ini dikarenakan mereka tetap berada di atas apa yang dipegang dan dilakukan oleh orang-orang jahiliyah dahulu.

Nabi saw memerintahkan umatnya agar mendengar dan taat kepada pemerintah. Beliau memerintahkan untuk memberikan nasihat kepada mereka dengan cara rahasia, yaitu antara mereka (penguasa) dengan orang yang menasehatinya saja.

Adapun membicarakan kejelekan mereka, mencaci maki mereka dan membicarakan mereka di belakang mereka (ghibah), maka hal ini merupakan perbuatan khianat kepada mereka. Karena hal ini akan membangkitkan kebencian rakyat kepada mereka dan membuat senang orang-orang jahat. Inilah sikap pengkhianatan kepada pemerintah.

Adapun mendoakan kebaikan untuk mereka, tidak menyebutkan kejelekan dan kekurangan mereka di majelis-majelis, maka hal ini merupakan nasihat buat mereka.

Barangsiapa mempunyai keinginan untuk menasehati seorang pemimpin, maka dia bisa menyampaikannya secara pribadi baik dengan lisan maupun tertulis. Atau dengan cara melalui orang yang mempunyai jalur dengan si pemimpin tersebut agar disampaikan kepadanya. Dan jika penyampaian nasihat itu tidak memungkinkan, maka dia dalam hal ini ma’dzur, memiliki udzur.

Adapun bila ia di majelis-majelis, atau di atas mimbar, atau di depan studio rekaman, lalu ia mencela dan menjelek-jelekkan pemerintah, maka ini bukan nasihat, akan tetapi ini adalah suatu bentuk pengkhianatan kepadanya. Yang dimaksud nasihat untuk mereka meliputi berdoa kebaikan untuk mereka, menutupi aib dan kekurangan yang ada, dan tidak mengungkapkannya di depan umum. Dan termasuk nasihat untuk pemerintah adalah menjalankan pekerjaan yang dibebankan pemerintah kepada para pegawai dan pekerja, serta berjanji untuk menjalankannya dengan baik

Diambil dari Syarh Masail Jahiliyah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Sumber: http://www.perpustakaan-islam.com

Prof.DR.H. Mahmud Yunus (1899-1992)


Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum
Akhir abad ke sembilan belas dan awal abad keduapuluh adalah masa dimana arus kebangkitan Islam sedang mengalir ke berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Gelombang kebangkitan ini dihembuskan pada awalnya oleh Jamaluddin Al-Afghany dan rekannya Sayyid Rasyid Ridha dari Mesir. Arus gelombang kebangkitan Islam ini sangat dirasakan konsekuensi politisnya oleh pemerintahan kolonial di Indonesia. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 telah menyebabkan meningkatnya jumlah rakyat pribumi melakukan perjalanan haji. Dengan demikian kontak intelektual antara kawasan jajahan dengan pusat Islam dan sesama wilayah terjajah lainnya menjadi meningkat pula.

Keadaan ini telah “memaksa” Belanda untuk mengubah arah kebijakan politiknya. Pada tahun 1901 Belanda mulai menjalankan politik etis. Gagasan politik ini bertujuan untuk menjaga kondisi sosial politik pemerintahan kolonial di Indonesia dengan menawarkan “balas jasa” pemerintah terhadap rakyat pribumi dalam bentuk perluasan kesempatan memperoleh pendidikan barat bagi rakyat pribumi.

Konsekuensi politik etis ini, pada gilirannya, sangat mempengaruhi perkembangan sistem pendidikan pribumi (baca : pendidikan Islam). Wadah-wadah pendidikan Islam mulai terancam, karena sistem pendidikan yang dijalankan oleh Belanda terbuka luas bagi rakyat. Dan sangat disadari pula bahwa, melalui pendidikan, Belanda melakukan proses “pembaratan” rakyat pribumi yang pada gilirannya akan melempangkan jalan bagi politik kolonial sendiri.

Kebijaksanaan pendidikan Belanda di Indonesia didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan Islam (tradisional) dianggap sebagai kekuatan laten yang dapat mengancam pemerintah. Oleh karenanya harus dicari ikhtiar untuk melemahkan potensi Islam melalui kebijakan pendidikan ini.
Pada tahun 1905 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan “Goeroe Ordonantie”, yakni undang –undang yang mewajibkan para pendidik di sekolah-sekolah diluar kontrol pemerintah, memperoleh izin dari instansi yang ditentukan. Ordonansi Guru ini mendapat protes yang keras dari kalangan umat Islam Indonesia, terlebih lagi di Sumatera Barat.
Penolakan aturan baru ini di Sumatera Barat dipelopori oleh kalangan pembaharu Islam dibawah koordinasi H. Abdul karim Amarullah. Aksi penolakan ini akhirnya berhasil menggagalkan atau, paling tidak, memperlonggar undang-undang tersebut.

Pada dasarnya, situasi sosial dan politik di Hindia Belanda pada awal abad ke dua puluh, telah berimplikasi terhadap bidang pendidikan Islam. Antara pendidikan dan politik terdapat kaitan yang sukar dipisahkan, paling tidak, menurut persepsi Belanda pada waktu itu. Sehingga tidak heran bila sistem pendidikan Islam sering dijadikan bulan-bulanan dan harus berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan jajahan yang tidak menguntungkan. Keadaan inilah yang telah memicu terhadap meningkatnya kesadaran rakyat pribumi, terutama kalangan ulama, untuk makin memberikan prioritas dalam bidang pendidikan serta mendirikan organisasi-organisasi sosial keagamaan yang sekaligus bergerak dalam lapangan pendidikan dan bahkan politik.

Kondisi sosial dan politik seperti inilah yang telah memberi pengaruh kuat terhadap proses pendewasaan karakter intelektualitas Mahmud Yunus dan sekaligus memotivasinya untuk menjadikan bidang pendidikan Islam sebagai pilihan profesinya.
Perubahan politik dari pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka adalah rentangan pengalaman yang tidak diabaikannya dalam memposisikan sistem pendidikan Islam dalam perkembangan masyarakat Indonesia sebagaimana akan dijelaskan pada uraian selanjutnya.

Mahmud Yunus dilahirkan pada tanggal 30 Ramadhan 1316 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 10 Februari 1899 Masehi di desa Sungayang Batusangkar Sumatera Barat. Ia dilahirkan dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang petani biasa, bernama Yunus bin Incek, dari suku Mandailing dan ibunya bernama Hafsah dari suku Chaniago. Walaupun dilahirkan dari keluarga yang sederhana, namun mempunyai nuansa keagamaan yang kuat. Ayah Mahmud adalah bekas pelajar surau dan mempunyai ilmu keagamaan yang cukup memadai, sehingga dia diangkat menjadi Imam Nagari.

Jabatan Imam Nagari pada waktu itu, diberikan secara adat oleh anak nagari kepada salah seorang warganya yang pantas untuk menduduki jabatan itu atas dasar ilmu agama yang dimilikinya. Disamping itu Yunus bin Incek dimasyhurkan juga sebagai seorang yang jujur dan lurus. Ibu Mahmud seorang yang buta huruf, karena ia tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah, apalagi pada waktu itu di desanya belum ada sekolah desa. Tetapi ia dibesarkan dalam lingkungan yang Islami.
Kakek Hafsah adalah seorang ulama yang cukup dikenal, bernama Syekh Muhammad Ali yang dimasyhurkan orang dengan Tuanku Kolok. Ayahnya bernama Doyan Muhammad Ali, bergelar Angku Kolok. Pekerjaan Hafsah sehari-hari adalah bertenun. Ia mempunyai keahlian menenun kain yang dihiasi benang emas, yaitu kain tradisional Minangkabau yang dipakai pada upacara-upacara adat.
Saudara Hafsah bernama Ibrahim, seorang saudagar kaya di Batusangkar. Kekayaan Ibrahim ini sangat menopang kelanjutan pendidikan Mahmud, terutama pada waktu ia belajar ke Mesir. Ibrahim sangat memperhatikan bakat serta kecerdasan yang dimiliki oleh kemenakannya ini. Dialah yang mendorong Mahmud untuk melanjutkan pelajarannya ke luar negeri dengan disertai dukungan dana untuk keperluan itu.
Hal ini memberikan gambaran tentang bagaimana tanggung jawab seorang mamak terhadap kemenakan yang berlaku di Minangkabau pada waktu itu sebagai pepatah yang berbunyi : “Anak dipangku, kamanakan dibimbiang”. Suatu kelaziman yang berlaku sepenuhnya pada waktu itu, bahwa tanggung jawab mamak terhadap kemenakan bukanlah didasarkan atas ketidakmampuan dari ayah kemenakan itu sendiri.

Ibrahim mempunyai seorang anak yang sebaya dengan Mahmud. Ia bergelar Datuk Sati, sangat ahli dalam bidang adat. Ini diasumsikan menjadi penyebab mengapa Mahmud kurang menonjol pengetahuannya dalam adat Minangkabau. Ibrahim agaknya menginginkan arahan yang berbagi antara anak dan kemenakan. Karena anaknya sangat menggemari masalah-masalah adat, maka ia menyalurkan kegemarannya untuk belajar kepada ahli-ahli adat, hingga ia menguasai adat ini dengan baik.

Di lain pihak, melihat perkembangan Mahmud dari kecil, ternyata lebih cenderung mempelajari agama, maka Ibrahimpun menyokong kecenderungan ini. Bahkan dia tak berkeberatan menanggung semua biaya yang diperlukan untuk keperluan itu, hingga Mahmud dapat melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Dukungan ekonomi dari sang mamak dengan disertai dorongan dari orang tuanya, maka Mahmud sejak kecil hingga remaja hanya dilibatkan dengan keharusan untuk belajar dengan baik, tanpa harus ikut memikirkan ekonomi keluarga dalam membantu orang tuanya mencari nafkah, ke sawah atau ke ladang meskipun Mahmud satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya; ia dan adiknya Hindun. Sedangkan ayahnya telah meninggalkan ibunya selagi Mahmud masih kecil, sebelum ia muamyyiz.

Belajar mengaji di surau adalah jalur pendidikan awal yang ditempuh oleh Mahmud kecil. Ia belajar dengan kakeknya sendiri, Muhammad Thaher bin Muhammad Ali gelar Angku Gadang. Mahmud mulai mengaji di surau kakeknya ini dalam usia 7 tahun dan dalam waktu kurang dari satu tahun, berkat ketekunannya, ia dapat menamatkan Al-Quran.

Segera setelah khatam Al-Quran, Mahmudpun dipercaya oleh kakeknya menjadi Guru Bantu untuk mengajari anak-anak yang menjadi pelajar pemula sambil ia mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab (ilmu Sharaf) dengan kakeknya. Pada tahun 1908, dengan dibukanya Sekolah Desa oleh masyarakat Sungayang, Mamudpun tertarik untuk memasuki sekolah ini. Ia kemudian meminta restu dari ibunya untuk belajar ke Sekolah Desa tersebut. Setelah mendapat restu ibunya, iapun mengikuti pelajaran di Sekolah Desa pada siang hari, namun tanpa meninggalkan tugas-tugasnya di Surau kakeknya mengajar Al-Quran pada malam harinya.
Rutinitas seperti ini dijalani oleh Mahmud dengan tekun dan penuh prestasi, Tahun pertama Sekolah Desa diselesaikannya hanya dalam masa 4 bulan, karena ia memperoleh penghargaan untuk dinaikkan ke kelas berikutnya. Bahkan di kelas tiga, ia tetap bertahan dengan nilai tertinggi diantara teman-teman sekelasnya. Pendidikan di Sekolah Desa hanya dijalaninya selama kurang dari tiga tahun. Pada waktu ia belajar di kelas empat, Mahmud menunjukkan ketidakpuasannya terhadap mata pelajaran di Sekalah Desa, karena pelajaran yang diberikan tidak berbeda jauh dari pelajaran kelas tiga.
Bertepatan pula pada waktu itu H. M. Thaib Umar membuka madrasah di surau Tanjung Pauh Sungayang. Madrasah ini bernama Madras School. Sekalilagi dengan restu ibunya Mahmudpun pindah ke Madras School di bawah asuhan H.M. Thaib Umar yang dikenal sebagai salah seorang ulama pembaharu Minangkabau. Di sekolah ini ia mempelajari ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, Berhitung dan Bahasa Arab. Ia belajar di sini dari jam 09.00 pagi hingga jam 12.00 siang, sementara pada malam harinya ia tetap mengajar di surau kakeknya.

Pada tahun 1911, karena keinginan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama.secara lebih mendalam dengan H.M. Thaib Umar, Mahmud menarik diri dari surau kakeknya untuk kemudian menggunakan waktu sepenuhnya, siang dan malam, belajar ilmu Fiqh dengan H.M. Thaib Umar di surau Tanjung Pauh. Ia belajar dengan tekun dengan ulama pembaharu ini, hingga ia menguasai ilmu-ilmu agama dengan baik, bahkan ia dipercayakan oleh gurunya ini untuk mengajarkan kitab-kitab yang cukup berat untuk ukuran seusianya.

Pada tahun 1917, Syekh H.M. Thaib Umar mengalami sakit, karena itu Mahmud Yunus secara langsung ditugasi untuk menggantikan gurunya memimpin Madras School. Setelah memiliki pengalaman beberapa tahun belajar, kemudian mengajar dan memimpin Madras School serta telah menguasi dengan mantap beberapa bidang ilmu agama, Mahmud kemudian berkeinginan untuk melanjutkan pelajarannya ke tingkat yang lebih tinggi di Mesir. Keinginan ini muncul setelah ia berkesempatan menunaikan ibadah Haji ke Mekkah.
Pada tahun 1924 ia berangkat ke Mesir bersama rombongan jemaah Haji. Di Mesir, Mahmud kembali memperlihatkan prestasi yang istimewa. Ia mencoba untuk menguji kemampuannya dalam ilmu-ilmu agama dengan mengikuti ujian akhir untuk memperoleh Syahadah (ijazah) ‘Alimiyyah, yaitu ujian akhir bagi siswa-siswa yang telah belajar sekurang-kurangnya 12 tahun ( Ibtidaiyyah 4 tahun, Tsanawiyah 4 tahun, dan ‘Aliyah 4 tahun).

Ada 12 mata pelajaran yang diuji untuk mendapatkan syahadah ini, namun kesemuanya telah dikuasai oleh Mahmud waktu belajar di tanah air, sebagaimana dicatatkannya :

”Kalau hanya ilmu itu saja yang akan diuji. Saya sanggup masuk ujian itu, karena keduabelas macam ilmu itu telah saya pelajari di Indonesia, bahkan telah saya ajarkan beberapa tahun lamanya (1915-1923)”
Ujian ini dapat diikutinya dengan baik dan berhasil lulus serta mendapatkan ijazah (syahadah) “Alimiyyah pada tahun yang sama tanpa melalui proses pendidikan. Dengan ijazah ini, Mahmud lebih termotivasi untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dia kemudian memasuki Darul ‘Ulum ‘Ulya Mesir.
Pada tahun 1925 ia berhasil memasuki lembaga pendidikan yang merupakan Madrasah ‘Ulya (setingkat perguruan tinggi) agama yang juga mempelajari pengetahuan umum. Ia memilih jurusan Tadris (Keguruan). Perkuliahan di Darul ‘Ulum ‘Ulya mulai dari tingkat I sampai tingkat IV dan semua tingkat itu dilaluinya dengan baik, Bahkan pada tingkat terakhir, dia memperoleh nilai tertinggi pada mata kuliah Insya` (mengarang). Pada waktu ini Mahmud adalah satu-satunya mahasiswa asing yang berhasil menyelesaikan hingga ke tingkat IV di Darul ‘Ulum. Setelah menjalani masa pendidikan dan menimba berbagai pengalaman di Mesir, iapun kembali ke tanah air pada tahun 1931.

Pendidikan Islam adalah jalur professi yang menjadi pilihan Mahmud, sebagai telah dikemukakan terdahulu. Pilihan ini pulalah yang menuntunnya melakukan pilihan jurusan dalam pendidikan yang ia lalui, untuk kemudian sangat berperan memantapkan langkah dalam setiap jenjang karir yang dilaluinya. Sekembalinya ke Indonesia, Mahmud mulai menerapkan ilmu yang diperolehnya. Madras School yang dulu pernah dipimpin Mahmud menggantikan gurunya HM. Thaib Umar, mulai mendapat sentuhan perubahan.

Mahmud mengganti nama Madras School dengan Al-Jami’ah Al-Islamiyah. Sekolah ini, oleh Mahmud dibuat berjenjang sebagai lazimnya sekolah-sekolah pemerintah, yaitu jenjang Ibtidaiyyah denga masa belajar 4 tahun setingkat Schakel, jenjang Tsanawiyyah dengan masa belajar 4 tahun, setingkat MULO, dan jenjang “Aliyah dengan masa belajar 4 tahun, setingkat AMS. Aljami’ah Al-Islamiyyah dipimpin oleh Mahmud Yunus selama 2 tahun (1931-1932), karena setelah itu kegiatan Mahmud lebih banyak di Padang dalam memimpin Normal Islam yang didirikan oleh PGAI pada waktu yang sama.

Normal Islam (Kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah) didirikan di Padang oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) pada bulan April 1931. Sekolah ini setingkat ‘Aliyah dan bertujuan untuk mendidik calon guru. Oleh karena itu murid yang diterima di sekolah ini adalah lulusan madrasah 7 tahun. Kepemimpinan Normal Islam dipercayakan kepada Mahmud Yunus semenjak didirikan, Jadi, pada waktu yang bersamaan, Mahmud memimpin dua lembaga pendidikan sekaligus, yaitu Normal Islam di Padang dan Al-Jamiah Al-Islamiyyah di Sungayang.

Normal Islam adalah madrasah yang terbilang modern untuk waktu itu, Sekolah ini, disamping telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum pengajarannya, juga sudah memiliki laboratorium kimia dan fisika, juga alat-alat praktikum lainnya. Selama memimpin Normal Islam, Mahmud telah melakukan pembaharuan sistem pengajaran, terutama metoda pengajaran Bahasa Arab.
Bahkan buku-buku yang digunakan adalah buku karangannya sendiri, yaitu : Durus al- Lughah al-‘Arabiyyah, yang dikarangnya sewaktu belajar di Mesir. Salah satu hasil dari perubahan metode yang dilakukan oleh mahmud Yunus adalah siswa-siswa mampu berbahasa Arab secara aktif, sementara pada waktu itu lulusan madrasah yang ada pada umumnya hanya mampu berbahasa Arab secara pasif.

Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Minangkabau bahkan di Indonesia. SIT didirikan oleh PGAI di Padang pada bulan Desember 1940 dan sebagai pemimpin pertama, sekali lagi oleh PGAI, dipercayakan kepada Mahmud Yunus. Sekolah Tinggi ini terdiri dari dua fakultas, yaitu : Fakultas Syari’at dan Fakultas Pendidikan/Bahasa Arab. Akan tetapi sekolah tinggi ini hanya berjalan kurang dari tiga tahun, karena pada tahun 1942, saat Jepang telah menguasai kota Padang, ada ketentuan pemerintahan baru ini yang tidak membolehkan adanya sekolah tinggi di daerah pendudukannya.

Pada saat tentara sekutu menduduki kota Padang, secara beruntun terjadi pertempuran hebat antara pemuda-pemuda dengan tentara sekutu. Suasana ini mengakibatkan terancamnya sekolah-sekolah agama Islam yang ada di Padang. Banyak guru-guru dan murid-murid yang mengungsi ke Bukittinggi. Di Bukittinggi, atas prakarsa Mahmud Yunus dan dengan kesepakatan guru-guru yang ada, untuk menjaga kelangsungan pendidikan agama Islam didirikanlah Sekolah Menengah Islam (SMI) pada bulan September 1946. Sekolah ini dipimpin pertama kali secara langsung oleh Mahmud Yunus, namun tidak lama, pada bulan Desember, Mahmud dipindah tugaskan ke Pematang Siantar, dan kepemimpinan SMI dipegang oleh H. Bustami Abdul Gani.

Menjadi Rektor pertama pada perguruan tinggi agama Islam negeri pertama di Sumatera Barat adalah jabatan terakhir yang diemban Mahmud Yunus selama menjadi pegawai Departemen Agama. Banyak aktifitas keagamaan dan kependidikan agama yang telah dijalaninya pada waktu sebelumnya, baik sebagai Dekan pada Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama dan sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi.
Pengalaman-pengalaman itu, tentu menjadi pertimbangan bagi Menteri Agama untuk mempercayakan jabatan Rektor IAIN Imam Bonjol di Padang. Jabatan ini dipegangnya dari tahun 1967 hingga memasuki masa pensiun pada akhir tahun 1970. Masa yang dianggap cukup untuk merintis dan mengasuh Institut Agama Islam yang baru berdiri ini.

Aktifitas Mahmud Yunus dalam bidang pendidikan Islam pada dasarnya telah dimulainya sebelum belajar ke Mesir. Keikutsertaannya dalam Rapat Alim Ulama Minangkabau di Padangpanjang pada tahun 1919 menjadi pajakan awal pemantapan dirinya untuk mengerahkan potensi, gagasan dan perjuangannya dalam bidang pendidikan Islam. Rapat ini menghasilkan keputusan antara lain mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) yang kemudian menjadi salah satu tonggak episode perkembangan pendidikan Islam modern di Sumatera Barat.

Ini terlihat dari beberapa kiprah organisasi ini dalam memajukan pendidikan agama Islam sebagai yang telah dikemukakan terdahulu. Beberapa sekolah yang didirikan oleh PGAI yang diawali dengan Normal Islam di Padang pada tahun 1931, Sekolah Tinggi Islam dan Sekolah Menengah Islam di Bukittinggi telah mempelihatkan komitmen yang jelas dari langkah organisasi ini dalam bidang pendidikan Islam. Melalui organisasi ini pulalah Mahmud Yunus mengabdikan diri, mencurahkan segenap ilmu serta gagasan-gagasan pendidikan, baik yang ia peroleh dari Mesir, maupun dari pengalaman belajar dan mengajar sebelumnya.
Kepercayaan yang diberikan oleh organisasi ini kepada Mahmud Yunus untuk memimpin lembaga-lembaga pendidikan di bawah PGAI lebih dapat dilihat dari kompetensi serta integritas keilmuan yang dimilikinya. Gagasan-gagasan pembaharuan materi ajar, kurikulum hingga metode pengajaran pada lembaga pendidikan tersebut adalah buah dari kesungguhan intelektual Mahmud Yunus dalam mengabdikan diri dalam bidang pendidikan Islam.

Salah satu kepeloporan Mahmud Yunus yang hingga saat ini hampir-hampir dilupakan oleh sejarah adalah usaha yang dilakukannya untuk menempatkan mata pelajaran agama Islam dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah pemerintah.

Di masa pemerintahan Jepang, tepatnya pada tahun 1943 Mahmud Yunus terpilih mewakili Majlis Islam Tinggi (MIT) sebagai penasehat Residen (Syu-Cho-Kan) di Padang. Pada waktu residen Yano Kenzo berniat mendirikan Gyu Gun (Lasykar Rakyat), Mahmudpun termasuk salah seorang tokoh yang diharapkan dapat merekrut keanggotaan Gyu Gun, disamping tokoh lainnya seperti Ahmad Dt. Simarajo dan Khatib Sulaiman.
Kedekatan Mahmud Yunus dengan pemerintahan inilah yang kemudian dia manfaatkan untuk merealisasikan obsesi nya. Ia mengusulkan kepada pemerintah agar pendidikan agama Islam diberikan di sekolah-sekolah pemerintah. Usulan Mahmud ini dapat dipertimbangkan oleh Jepang untuk diterima. Sejak saat itu pelajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah pemerintah pada waktu itu dan sekaligus Mahmud Yunus diangkat menjadi pengawas pendidikan agama pada pemerintahan Jepang. Pada waktu yang bersamaan ia juga memimpin Normal Islam di Padang.

Upaya untuk memasukkan mata pelajaran agama Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum (pemerintah) juga dilakukan oleh Mahmud Yunus setelah kemerdekaan. Sebagai mantan pengawas pendidikan agama pada masa Jepang, ia mengusulkan hal yang sama kepada Jawatan Pengajaran Sumatera Barat yang pada waktu itu dikepalai oleh Sa’aduddin Jambek.

Usul inipun diterima, dan Mahmud sendiri yang menyusun kurikulum serta buku-buku pegangan untuk keperluan pengajarannya. Buku-buku tersebut kemudian diterbitkan oleh Jawatan Pengajaran Sumatera Barat pada tahun 1946. Pada waktu Mahmud Yunus dipindahtugaskan ke Pematang Siantar sebagai Kepala Kepala bagian Agama Islam pada Jawatan Agama Propinsi Sumatera, bersamaan dengan itu pula pindahnya ibukota Propinsi Sumatera ke kota itu.
Di sini ia mengusulkan pula hal yang sama kepada Jawatan Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP & K) provinsi. Usul ini diterima oleh kepala Jawatan PP&K propinsi yang pada waktu itu dikepalai oleh Abdullah Nawawi. Usul ini dibawa ke dalam forum konferensi Pendidikan dan Pengajaran se- Sumatera yang diadakan di Padangpanjang bulan Maret 1947 dan diterima secara bulat oleh peserta konferensi.
Dengan demikian pendidikan Islam masuk secara resmi dalam rencana pengajaran seskolah-sekolah negeri di Sumatera pada tahun 1947. Sementara do Sumatera Barat telah berjalan setahun sebelumnya. Untuk merealisasikan rencana tersebut, Jabatan Pengajaran melaksanakan kursus untuk guru-guru agama di Pematang Siantar selama sebulan penuh. Kursus ini dikuti oleh utusan kabupaten dari seluruh Sumatera dan sebagai pimpinan kursus dipercayakan oleh Mahmud Yunus.

Pada tahun 1948, Mahmud membuat rencana baru tentang pelajaran agama untuk sekolah umum tingkat pertama. Gagasan ini mendapat sambutan puladari pemerintah provinsi, akhirnya mengangkat Mahmud menjadi inspektur pelajaran agama pada kantor pendidikan provinsi, disamping ia tetap menjabat Kepala Bagian Islam.

Pada waktu pemerintah Republik Indonesia Serikat berpusat di Jakarta (1950), mulai diadakan kesatuan rencana pendidikan Islam untuk seluruh Indonesia. Pada tahun sebelumnya kementerian Agama di Yogyakarta mengeluarkan penetapan bersama Menteri PP & K tentang pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Dalam penetapan itu pendidkan agama dapat diberikan mulai kelas IV sekolah rakyat. Pada tahun 1950 Mahmud pindah ke Kementerian Agama RIS di Jakarta.
Sebagaimana telah diketahui bahwa di Sumatera, pelajaran Agama Islam telah mulai diberikan di kelas satu sekolah rakyat, berdasarkan rencana Mahmud Yunus dan telah dilaksanakan di Sumatera Barat mulai 1 April 1946. Maka oleh Sekjen Kementerian Agama RI Yogyakarta bersama Mahmud Yunus, diusahakanlah untuk mengkompromikan antara kurikulum Sumatera tersebut dengan kurikulum Kementerian RI Yogyakarta. Rencana ini disampaikan kepada Menteri PP & K untuk mendapatkan persetujuan.

Setelah diadakan pertemuan beberapa kali antara Mahmud Yunus sebagai wakil Kementerian Agama RI dengan Sekjen Kementerian PP & K, Mr.Hadi, maka dikeluarkanlah

Peraturan Bersama No.1432/Kab. tanggal 20-1-1951 (Pendidikan) dan No.K.1/651 tanggal 20-1-1951 (Agama), yang isinya antara lain:
menetapkan pendidikan agama di sekolah rendah, dimulai pada kelas IV, banyaknya 2 jam seminggu (pasal 2 ayat 1).
Di lingkungan istimewa, pendidikan agama dapat dimulai pada kelas satu, dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu (pasal 2 ayat 2)
dan di sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, diberi pendidikan agama 2 jam seminggu (pasal 3)
Dengan keluarnya peraturan bersama itu, pendidikan agama Islam telah masuk dengan resmi ke sekolah-sekolah negeri dan berlaku juga untuk sekolah-sekolah partikelir, mulai dari SR, SMP, SMA dan sekolah-sekolah kejuruan.

Di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Mahmud Yunus mengemuka-kan pula rencana mendirikan Madrasah Tsanawiyyah untuk seluruh Sumatera. Usul rencana ini mendapat persetujuan pula dari Menteri Agama PDRI.

Setelah penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RI, beberapa madrasah Tsanawiyyah yang pada waktu itu bernama Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), didirikan di Sumatera Barat dan mendapat persetujuan dari pemerintah. Madrasah ini diselenggarakan secara swasta, meskipun Mahmud Yunus telah memperjuangkannya untuk dijadikan sekolah negeri.

Pada tanggal 1 September 1950 Mahmud diangkat menjadi Kepala Penghubung antara pusat Kementerian Agama RIS dan pusat Kementerian RI Yogyakarta. Dalam jabatan inilah Mahmud lebih banyak berhasil mengajukan rencana-rencana pendidikan agama Islam, seperti dikemukakan pada uraian terdahulu. Disamping itu keluarnya peraturan bersama Menteri PP & K dan Menteri Agama tentang PTAIN (1951) dan keluarnya keputusan Menteri PP & K dengan persetujuan Menteri Agama tentang penghargaan ijazah-ijazah madrasah, adalah merupakan rangkaian usaha Mahmud selama memegang jabatan tersebut yang telah membawa prospek lebih baik bagi pendidikan agama di Indonesia pada umumnya.

Didirikannya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) juga tidak dapat dipisahkan dari usaha yang dilakukan oleh Mahmud Yunus. Pada waktu ia menjabat sebagai Dekan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, sebelumnya sudah berdiri Perguruan Tinggi Agama Islam ( PTAIN) di Yogyakarta. Karena itu, Muncul ide dari Mahmud Yunus untuk menyatukan kedua perguruan tinggi yang ada di bawah Departemen Agama ini.
Pada waktu Mahmud menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Agama pada Jawatan Pendidikan Agama, ia mengusulkan kepada Menteri Agama agar ADIA bias dijadikan sebagai sebuah perguruan tinggi sampai tingkat sarjana penuh. Mentri Agama yang pada waktu itu dijabat oleh K.H. Wahib Wahab sang menyetujui usul ini.
Menteri segera mengadap Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Presiden setuju untukmengintegrasikan ADIA dan PTAIN menjadi satu perguruan tinggi agama di bawah Departemen Agama. Dengan demikian keluarlah Peraturan Presiden Nomor Tahun 1960 tentang pendirian Institut Agama islam Negeri.
IAIN pada waltu awal ini memiliki fakultas, yaitu dua fakultas di Jakarta, masing-masing fakultas Tarbiyah (Dekan : Mahmud Yunus) dan fakultas Adab (Dekan : H. Bustami Abdul Gani).dan dua fakultas di Yogyakarta, yaitu fakultas Syari’ah dan Ushuluddin dengan dekan masing-masing Prof Hasbi Ash-Shiddiqy, dan Prof Mukhtar Yahya.
Sewaktu Mahmud menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta dan menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol Padang, Mahmud beberapa kali terlibat dalam aktivitas di luar negeri.
Perlawatan pertama adalah merupakan tugas dari Departemen Agama kesembilan negara Islam (1961), yaitu: Mesir, Saudi Arabia, Syria, Libanon, Yordania, Turki, Irak, Tunisia dan Marokko. Kunjungan ini ditujukan untuk mempelajari pendidikan agama di negara-negara tersebut.

Pada tahun berikutnya (1962), Mahmud Yunus berkesempatan menghadiri sidang Majlis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Medinah bulan April 1962 atas undangan Raja Sa’ud yang diterimanya melalui Kedutaan Besar Saudi di Jakarta. Kemudian aktif sebagai peserta Muktamar Buhutsul Islamiyah di Universitas Al-Azhar yang berlangsung di Mesir sebanyak empat kali Muktamar, berturut-turut tahun 1964, 1965, 1966 dan 1967.

Dalam Muktamar ini Mahmud Yunus mengemukakan makalah yang berjudul “Al-Israiliyyat fit Tafsir wal Hadits” yang mendapat tanggapan serius dari peserta. Pada tahun 1969, Mahmud Yunus kembali diundang untuk menghadiri Majlis A’la Istisyari Al-Jami’ah Al-Islamiyah di Medinah. Aktivitas Mahmud di luar negeri itu telah menjadikan ia semakin menonjol dalam bidangnya, karena didukung dengan pengalaman-pengalaman internasional yang ditimbanya pada aktivitas-aktivitas tersebut. Mahmud Yunus di masa hidupnya dikenal sebagai seorang pengarang yang produktif. Aktivitasnya dalam melahirkan karya tulis tak kalah penting dari aktivitasnya dalam lapangan pendidikan.
Popularitas Mahmud lebih banyak dikenal lewat karangan-karangannya, karena buku-bukunya tersebar di setiap jenjang pendidikan khususnya di Indonesia. Buku-buku karangan Mahmud Yunus menjangkau hampir setiap tingkat kecerdasan. Justru karangan-karangannya bervariasi, mulai dari buku-buku untuk konsumsi anak-anak dan masyarakat awam dengan bahasa yang ringan, hingga merupakan literatur pada perguruan-perguruan tinggi.

Pada perjalanan hidupnya, ia telah menghasilkan buku-buku karangannya sebanyak 82 buah buku. Dari jumlah itu Mahmud membahas berbagai bidang ilmu, yang sebahagian besar adalah bidang-bidang ilmu agama Islam, seperti bidang Fiqh, bahasa Arab, Tafsir, Pendidikan Islam, Akhlak, Tauhid, Ushul Fiqh, Sejarah dan lain-lain.

Diantara bidang-bidang ilmu yang disebutkan, Mahmud lebih banyak memberi perhatian pada bidang pendidikan Islam, bahasa Arab (keduanya lebih banyak memfokus pada segi metodik), bidang Fiqh, Tafsir dan Akhlak yang lebih memfokus pada materi sajian. Sesuai dengan kemampuan bahasa yang ia miliki, maka karangan-karangannya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia, akan tetapi juga dalam bahasa Arab. Ia memulai mengarang sejak tahun 1920, dalam usia 21 tahun.
Karirnya sebagai pengarang tetap ditekuninya pada masa-masa selanjutnya. Dia senantiasa mengisi waktu-waktunya untuk mengarang, dalam situasi apapun. Pada waktu perang kemerdekaan, ketika mengikuti perang gerilya, dia tetap menyempatkan diri untuk mengarang.
Buku “Marilah Sembahyang” (4 jilid) adalah merupakan hasil karangan Mahmud sewaktu dia beserta pejuang-pejuang lainnya berada dalam pengungsian dari ancaman perlawanan tentara Belanda (Nica) di Batusangkar pada tahun 1949.

Aktivitas-aktivitas Mahmud dalam bidang-bidang lain tidak merupakan rintangan bagi aktivitasnya dalam mengarang. Hal ini dapat dilihat dari karangan-karangannya yang dihasilkan justru pada saat aktivitasnya yang lain lebih memuncak, terutama dalam bidang pendidikan.

Hingga pada saat ia menjalani masa pensiun ia tetap mengarang, bahkan pada tahun-tahun terakhir dari kehidupannya (1982), masih ia sempatkan untuk selalu mengarang. Berikut ini diantara buku-buku karya Mahmud Yunus : (dengan urutan : Judul, tahun terbit, Penerbit, dan tempat terbit)

A. Bidang Pendidikan : (6 karya)

1. Pengetahuan Umum dan Ilmu Mendidik, (tidak teridentifikasi lengkap)
2. Metodik Khusus Pendidikan Agama, 1980, Hidakarya Agung , Jakarta
3.Pengembangan Pendidikan Islam di Indonesia (tidak teridentifikasi                  lengkap)
4. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, 1978, Hidakarya Agung, Jakarta
5. At-Tarbiyyah wa at-Ta’lim, (tidak teridentifikasi lengkap)
6. Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat, 1968, Al-Hidayah Jakarta

B. Bidang Bahasa Arab : (15 karya)

7. Pelajaran Bahasa Arab I (tidak teridentifikasi lengkap)
8. Pelajaran Bahasa Arab II (tidak teridentifikasi lengkap)
9. Pelajaran Bahasa Arab III (tidak teridentifikasi lengkap)
10. Pelajaran Bahasa Arab IV (tidak teridentifikasi lengkap)
11. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Ala Thariqati al-Haditsah I, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta
12. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘Ala Thariqati al-Haditsah II, tt. CV Al-Hidayah, Jakarta
13. Metodik Khusus Bahasa Arab, tt, CV. Al-Hidayah
14. Kamus Arab Indonesia , 1973, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Jakarta
15. Contoh Tulisan Arab (tidak teridentifikasi lengkap)
16. Muthala’ah wa al-Mahfuzhaat, (tidak teridentifikasi lengkap)
17. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah I, 1980, PT. Hidakarya Agung Jakarta
18. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah II, 1980, PT. Hidakarya Agung Jakarta
19. Durusu al-Lughah al-‘Arabiyyah III, 1981, PT. Hidakarya Agung Jakarta
20. Muhadatsah al-‘Arabiyyah (tidak teridentifikasi lengkap)
21. Al-Mukhtaraat li al-Muthala’ah wa al-Mahfuzhhat (tidak teridentifikasi lengkap)

C. Bidang Fiqh : (17 karya)

22. Marilah Sembahyang I, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
23. Marilah Sembahyang II, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
24. Marilah Sembahyang III, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
25. Marilah Sembahyang IV, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
26. Puasa dan Zakat, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
27. Haji ke Mekkah, 1979, PT Hidakarya Agung, Jakarta
28. HukumWarisan dalam Islam, 1974, CV. Al-Hidayah Jakarta
29. Hukum Perkawinan dalam Islam, 1979, PT, Hidakarya Agung, Jakarta
30. Pelajaran Sembahyang untuk Orang Dewasa, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
31. Manasik Haji untuk Orang Dewasa (tidak teridentifikasi lengkap)
32. Soal Jawab Hukum Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
33. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 1, 1935, PT Hidakarya Agung, Jakarta
34. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 2, 1936, PT Hidakarya Agung, Jakarta
35. Al-Fiqhu al-Wadhih, juz. 3, 1937, PT Hidakarya Agung, Jakarta
36. Mabadi`u Fiqhu al-Wadhih (tidak teridentifikasi lengkap)
37. Fiqhu al-Wadhih An-Nawawy (tidak teridentifikasi lengkap)
38. Al-Masailu al-Fiqhiyyah ‘Ala Mazahibu al-Arba’ah (tidak teridentifikasi lengkap)

D. Bidang Tafsir : (15 karya)

39. Tafsir Al-Qur`an Al-Karim (30 juz), (tidak teridentifikasi lengkap)
40. Tafsir Al-Fatihah, 1971, Sa’adiyah Putra, Padang Panjang – Jakarta
41. Tafsir Ayat Akhlak, 1975, CV. Al-Hidayah, Jakarta
42. Juz ‘Amma dan Terjemahannya, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
43. Tafsir Al-Qur`an Juz 1 – 10 (tidak teridentifikasi lengkap)
44. Pelajaran Huruf Al-Qur`an 1973 (tidak teridentifikasi lengkap)
45. Kesimpulan Isi Al-Qur`an
46. Alif Ba Ta wa Juz ‘Amma (tidak teridentifikasi lengkap)
47. Muhadharaat al-Israiliyyaat fi at-Tafsir wa al-Hadits (tidak teridentifikasi lengkap)
48. Tafsir Al-Qur`an Karim Juz. 11-20 (tidak teridentifikasi lengkap)
49. Tafsir Al-Qur`an Karim Juz. 21-30 (tidak teridentifikasi lengkap)
50. Kamus Al-Qur`an I (tidak teridentifikasi lengkap)
51. Kamus Al-Qur`an II (tidak teridentifikasi lengkap)
52. Kamus Al-Qur`an (juz 1 – 30), 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
53. Surat Yaasin dan Terjemahannya (Arab Melayu), 1977, (tidak teridentifikasi lengkap)

E. Bidang Akhlak : (9 karya)

54. Keimanan dan Akhlak I, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
55. Keimanan dan Akhlak II, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
56. Keimanan dan Akhlak III, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
57. Keimanan dan Akhlak IV, 1979, (tidak teridentifikasi lengkap)
58. Beriman dan Berbudi Pekerti, 1981, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
59. Lagu-Lagu Baru Pendidikan Agama/ Akhlak (tidak teridentifikasi lengkap)
60. Akhlak Bahasa Indonesia (tidak teridentifikasi lengkap)
61. Moral Pembangunan dalam Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
62. Akhlak, 1978 (tidak teridentifikasi lengkap)

F. Bidang Sejarah : (5 karya)

63. Sejarah Pendidikan Islam (tidak teridentifikasi lengkap)
64. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1979, Mutiara, Jakarta
65. Tarikh al-Fiqhu al-Islamy (tidak teridentifikasi lengkap)
66. Sejarah Islam di Minangkabau, 1971, (tidak teridentifikasi lengkap)
67. Tarikh al-Islam, tt, PT. Hidakarya Agung, Jakarta

G. Bidang Perbandingan Agama : ( 2 karya)
68. Ilmu Perbandingan Agama, 1978, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
69. Al-Adyaan, (tidak teridentifikasi lengkap)

H. Bidang Dakwah : (1 karya)

70. Pedoman Dakwah Islamiyyah, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta

I. Bidang Ushul Fiqh : (1 karya)
71. Muzakaraat Ushulu al-Fiqh (tidak teridentifikasi lengkap)
J. Bidang Tauhid : (1 karya)
72. Durusu at-Tauhid (tidak teridentifikasi lengkap)
K. Bidang Ilmu Jiwa : ( 1 karya)
73. Ilmu an-Nafs (tidak teridentifikasi lengkap)

L. Lain-Lain : (9 karya)

74. Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya, 1980, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
75. Doa’-Do’a Rasulullah, 1979, PT. Hidakarya Agung, Jakarta
76. Pemimpin Pelajaran Agama I, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
77. Pemimpin Pelajaran Agama II, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
78. Pemimpin Pelajaran Agama III, tt. CV. Al-Hidayah, Jakarta
79. Kumpulan Do’a, 1976, CV. Al-Hidayah, Jakarta
80. Marilah ke Al-Qur`an, 1971, CV. Al-Hidayah, Jakarta
81. Asy-Syuhuru al-‘Arabiyyah fi Biladi al-Islamiyyah (tidak teridentifikasi lengkap)
82. Khulashah Tarikh al-Ustaz Mahmud Yunus (tidak teridentifikasi lengkap)

http://lppbi-fiba.blogspot.com/2011/02/profdrh-mahmud-yunus-1899-1992.html

Perjalanan Menuju Yaumil Akhirat


Mari Sholat Saudaraku…

Filed under: Akhlaq by unaifah — Tinggalkan komentar
27 Januari 2011

Sebuah hadits yang bisa kita renungkan hari ini adalah hadits yang berisi penjelasan mengenai kewajiban sedekah seluruh persendian. Dan sedekah ini bisa digantikan dengan shalat Dhuha. Semoga bermanfaat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ، تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تََمْشِيْهَا إِلَى

الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيْطُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ

 

“Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya mulai matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang (yang berselisih) adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah sedekah. Berkata yang baik juga termasuk sedekah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah ”. [HR. Bukhari dan Muslim]

PENJELASAN HADITS

(سُلاَمَى) bermakna persendian. Ada juga yang mengatakan bahwa maknanya adalah tulang. Ibnu Daqiq Al ‘Ied mengatakan bahwa (سُلاَمَى) adalah persendian dan anggota badan.

Dinukil oleh Ibnu Daqiq Al ‘Ied bahwa Al Qadhi ‘Iyadh (seorang ulama besar Syafi’iyyah) berkata, “Pada asalnya kata (سُلاَمَى) bermakna tulang telapak tangan, tulang jari-jari dan tulang kaki. Kemudian kata tersebut digunakan untuk tulang lainnya dan juga persendian”.

Terdapat hadits dalam shohih Muslim bahwa tubuh kita ini memiliki 360 persendian. Di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ

“Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan memiliki 360 persendian.” (HR. Muslim no. 2377)

Inilah yang terdapat dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para dokter saat ini juga mengatakan seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan. Maka hal ini menunjukkan bahwa risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar.

(كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ) bermakna setiap hari diwajibkan bagi anggota tubuh kita untuk bersedekah. Yaitu diwajibkan bagi setiap persendian kita untuk bersedekah. Maka dalam setiap minggu berarti ada 360 x 7 = 2520 sedekah.

Akan tetapi dengan nikmat Allah, sedekah ini adalah umum untuk semua bentuk qurbah (pendekatan diri pada Allah). Setiap bentuk pendekatan diri kepada Allah adalah termasuk sedekah. Berarti hal ini tidaklah sulit bagi setiap orang. Karena setiap orang selama dia menyukai untuk melaksanakan suatu qurbah (pendekatan diri pada Allah) maka itu akan menjadi sedekah baginya.

(تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ) adalah memisahkan di antara dua orang yang berselisih baik dengan cara mendamaikan atau dengan cara diadili.

Pertama adalah menyelesaikan perselisihan antara dua orang yang berselisih dengan cara mendamaikan. Ini dilakukan jika belum jelas mana yang benar di antara keduanya. Namun, apabila sudah jelas yang benar di antara keduanya, dilarang untuk melakukan islah (perdamaian). Kesalahan semacam inilah yang kadang dilakukan oleh seorang qodhi (hakim). Di mana hakim malah seriang mendamaikan (mengadakan islah) terhadap perselisihan antara dua belah pihak yang menuduh dan tertuduh, padahal sudah diketahui kebenaran pada salah satu pihak.

Jadi, menyelesaikan perkara antara dua orang yang berselisih baik dengan diadili dan didamaikan termasuk sedekah. Akan tetapi, jika telah diketahui bahwa kebenaran ada di salah satu pihak, maka dalam hal ini tidak boleh diadakan islah (perdamaian) bahkan harus diputuskan dengan memihak pada yang benar.

(وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا), maksudnya adalah menolong seseorang di atas kendaraannya -misalnya di zaman dahulu adalah unta-, dengan membantunya naik di atas kendaraannya adalah sedekah. Atau boleh jadi (تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ), dengan mengangkat barang-barangnya yang digunakan untuk bepergian jauh seperti makanan dan minuman, juga termasuk sedekah.

(وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ), kata-kata yang thoyib baik yang thoyib di sisi Allah seperti bacaan tasbih, takbir dan tahlil atau thoyib di sisi manusia dengan berakhlak yang baik, ini juga termasuk sedekah.

(وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تََمْشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ), setiap langkah kaki menuju shalat adalah sedekah baik jarak yang jauh maupun dekat.

Dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَطَهَّرَ فِى بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِىَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu dia berjalan menuju salah satu dari rumah Allah (yaitu masjid) untuk menunaikan kewajiban yang telah Allah wajibkan, maka salah satu langkah kakinya akan menghapuskan dosa dan langkah kaki lainnya akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim no. 1553)

Maka orang yang melakukan semacam ini akan mendapatkan dua kebaikan: [1] ditinggikan derajatnya, [2] akan dihapuskan dosa-dosa.

Catatan Penting:

Ada sebagian ulama yang menganjurkan bahwa setiap orang yang hendak ke masjid hendaknya memperpendek langkah kakinya. Akan tetapi, ini adalah anjuran yang bukan pada tempatnya dan tidak ada dalilnya sama sekali. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits hanya mengatakan ‘setiap langkah kaki menuju shalat’ dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan ‘hendaklah setiap orang memperpendek langkahnya.’ Seandainya perbuatan ini adalah perkara yang disyari’atkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menganjurkannya kepada kita. Yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah bukan memanjangkan atau memendekkan langkah, namun yang dimaksudkan adalah berjalan seperti kebiasaannya.

(وَتُمِيْطُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ), menyingkirkan gangguan dari jalanan yang akan mengganggu orang yang lewat, baik berupa batu, pecahan kaca, kotoran. Maka segala sesuatu yang disingkirkan dari jalan yang akan mengganggu orang yang lewat adalah sedekah.

FAEDAH HADITS

Faedah Pertama, wajibnya sedekah bagi setiap orang dengan setiap anggota badannya pada setiap harinya mulai dari matahari terbit. Karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (عَلَيْهِ صَدَقَةٌ) menunjukkan wajibnya. Bentuk dari hal ini adalah setiap orang bersyukur kepada Allah setiap paginya atas keselamatan pada dirinya baik keselamatan pada tangannya, kakinya, dan anggota tubuh lainnya. Maka dia bersyukur kepada Allah karena nikmat ini.

Kalau ada yang mengatakan hal seperti ini sulit dilakukan karena setiap anggota badan harus dihitung untuk bersedekah?

Jawabannya : Nabi telah memberikan ganti untuk hal tersebut yaitu untuk mengganti 360 sedekah dari persendian yang ada. Penggantinya adalah dengan mengerjakan shalat sunnah Dhuha sebanyak 2 raka’at. Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى »

“Pada pagi hari diwajibkan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Maka setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, dan setiap bacaan takbir adalah sedekah. Begitu juga amar ma’ruf (memerintahkan kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.” (HR. Muslim no. 1704)

Ibnu Daqiq Al ‘Ied mengatakan, “Maksudnya, semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua raka’at shalat Dhuha, karena shalat merupakan amalan semua anggota badan. Jika seseorang mengerjakan shalat, maka setiap anggota badan menjalankan fungsinya masing-masing. ”

An Nawawi dalam Syarh Muslim 3/47 mengatakan,

. وَفِيهِ دَلِيل عَلَى عِظَم فَضْل الضُّحَى وَكَبِير مَوْقِعهَا ، وَأَنَّهَا تَصِحُّ رَكْعَتَيْنِ

“Hadits ini adalah dalil yang menunjukkan tentang agung dan mulianya shalat Dhuha dan menunjukkan pula besarnya kedudukannya. Dan shalat Dhuha boleh dilakukan hanya dengan 2 raka’at.”

Dari hadits Abu Dzar menunjukkan bahwa boleh untuk terus menerus dalam mengerjakan shalat Dhuha.[1]

Adapun waktu mengerjakannya adalah ketika matahari sudah setinggi tombak dilihat dengan mata telanjang[2] hingga dekat dengan waktu matahari bergeser ke barat yaitu kira-kira 1/3 jam (20 menit) setelah matahari terbit hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat. Dan jumlah raka’at minimal adalah 2 raka’at tanpa ada batasan raka’at maksimal. Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin.

Namun, Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 3/322, menyebutkan bahwa jumlah raka’at minimal untuk shalat Dhuha adalah 2 raka’at sedangkan maksimalnya adalah 8 raka’at. Hal ini berdasarkan hadits muttafaqun ‘alaih dari Ummu Hani,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ ، وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ ، فَلَمْ أَرَ صَلَاةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا ، غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahnya ketika Fathul Makkah. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat 8 raka’at. Maka aku tidak pernah melihat beliau shalat seringan itu kecuali beliau menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.”

Namun sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa shalat Dhuha tidak ada batasan raka’atnya.
Dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah tak terbatas, yaitu hadits,

مُعَاذَةُ أَنَّهَا سَأَلَتْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – كَمْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى صَلاَةَ الضُّحَى قَالَتْ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ وَيَزِيدُ مَا شَاءَ.

Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau.” (HR. Muslim no. 719). Hadits ini menunjukkan bahwa shalat Dhuha tidak ada batasan raka’atnya. Inilah yang lebih tepat.

Silakan baca panduan shalat Dhuha secara lengkap di sini.

Faedah kedua, hadits ini menunjukkan keutamaan berbuat adil di antara dua orang yang berselisih. Dan Allah Ta’ala telah mendorong kita agar berbuat islah (perdamaian) sebagaimana dalam firman-Nya,

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya , dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir .” (QS. An Nisa’ [4] : 128)

Maka mengadakan islah adalah suatu kebaikan. Dan berbuat adil ketika mengadili adalah suatu kewajiban.

Faedah ketiga, dalam hadits ini terdapat dorongan untuk menolong saudara kita, karena melakukan seperti ini termasuk sedekah. Baik dalam contoh yang diberikan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini atau perbuatan lainnya.

Faedah keempat, hadits ini memberi motivasi untuk berkata dengan perkataan yang baik. Hal itu bisa berupa dzikir, membaca, ta’lim (memberikan pelajaran), berdakwah dan lain sebagainya. Dan keutamaan berdakwah telah ditunjukkan dalam hadits,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barangsiapa menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 5007)

Faedah kelima, dalam hadits ini juga ditunjukkan mengenai keutamaan berjalan ke masjid. Dan berjalan pulang dari masjid juga akan dicatat sebagaimana perginya berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَجُلٌ لاَ أَعْلَمُ رَجُلاً أَبْعَدَ مِنَ الْمَسْجِدِ مِنْهُ وَكَانَ لاَ تُخْطِئُهُ صَلاَةٌ – قَالَ – فَقِيلَ لَهُ أَوْ قُلْتُ لَهُ لَوِ اشْتَرَيْتَ حِمَارًا تَرْكَبُهُ فِى الظَّلْمَاءِ وَفِى الرَّمْضَاءِ . قَالَ مَا يَسُرُّنِى أَنَّ مَنْزِلِى إِلَى جَنْبِ الْمَسْجِدِ إِنِّى أُرِيدُ أَنْ يُكْتَبَ لِى مَمْشَاىَ إِلَى الْمَسْجِدِ وَرُجُوعِى إِذَا رَجَعْتُ إِلَى أَهْلِى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « قَدْ جَمَعَ اللَّهُ لَكَ ذَلِكَ كُلَّهُ »

Dari Ubay bin Ka’ab berkata, “Dulu ada seseorang yang tidak aku ketahui siapa lagi yang jauh rumahnya dari masjid selain dia. Dan dia tidak pernah luput dari shalat. Kemudian ada yang berkata padanya atau aku sendiri yang berkata padanya, ‘Bagaimana kalau kamu membeli unta untuk dikendarai ketika gelap dan ketika tanah dalam keadaan panas.’ Kemudian orang tadi mengatakan, ‘Aku tidaklah senang jika rumahku di samping masjid. Aku ingin dicatat bagiku langkah kakiku menuju masjid dan langkahku ketika pulang kembali ke keluargaku.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah telah mencatat bagimu seluruhnya.” (HR. Muslim no. 1546)

An Nawawi dalam Syarh Muslim 2/130 mengatakan,

فِيهِ : إِثْبَات الثَّوَاب فِي الْخُطَا فِي الرُّجُوع مِنْ الصَّلَاة كَمَا يَثْبُت فِي الذَّهَابِ .

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa langkah kaki ketika pulang dari shalat akan diberi ganjaran sebagaimana pergi.”

Faedah keenam, dalam hadits ini terdapat keutamaan menyingkirkan gangguan dari jalanan. Dan juga ini termasuk cabang keimanan sebagaimana disebutkan dalam hadits lainnya.

Dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah. Yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalanan. Dan malu termasuk bagian dari iman.” (HR. Muslim no. 162)

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Referensi:

Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr

Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin

Selesai disusun di Pondok Sahabat Pogung Kidul, Yogyakarta pada sore hari saat Allah memberikan kemudahan untuk menulis, 2 Rabi’uts Tsani 1429 (bertepatan dengan hari Senin, 7-04-08)

Semoga Allah selalu menjaga penulis, menjaga anak dan keluarganya serta mengampuni dosa dan kesalahannya.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://www.rumaysho.com

[1] Namun, terus menerus dalam melaksanakan shalat Dhuha terdapat perselisihan di kalangan ulama. Yang mengatakan tidak boleh terus menerus melakukannya, berdalil dengan hadits dari Aisyah dan ditakutkan mirip dengan shalat wajib. Sedangkan yang mengatakan boleh melaksanakan shalat Dhuha terus menerus adalah berdalil salah satunya dengan hadits Abu Dzar di atas.

[2] Ibnu Qudamah dalam Al Mughni 3/322 mengatakan bahwa waktu shalat Dhuha adalah mulai saat matahari meninggi dan sudah mulai agak panas.

Baca lebih lanjut

Kemunculan Nabi Palsu, Pertanda akan Datangnya Kiamat



Posted on 16 Juni 2008. Filed under: Ahmadiyah, Akidah | Tag:, , , , , , , , , , , , , , |

Kemunculan nabi-nabi palsu di muka bumi ini sesungguhnya merupakan salah satu tanda dari sekian tanda hari kiamat. Di antara mereka, ada yang sekadar mengaku-ngaku. Namun ada pula yang “mendakwahkan” ajarannya sehingga punya banyak pengikut.

Kemunculan para Nabi palsu adalah salah satu tanda akan bangkitnya hari kiamat sekaligus tanda kebenaran kenabian Rasulullah Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di mana apa yang beliau beritakan akan kemunculan mereka benar sesuai kenyataan yang ada, karena beliau berucap dari wahyu bukan dari hawa nafsu dan kedustaan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللهِ

“Tidaklah hari kiamat bangkit sehingga dibangkitkan para (Dajjal) pendusta, pembohong, mendekati 30 orang. Masing-masing mengaku bahwa dirinya adalah Rasulullah.” (Shahih, Al-Bukhari Kitabul Manaqib, Bab ‘Alamatun Nubuwwah fil Islam, Muslim Kitabul Fitan Wa Asyrathus Sa’ah, Bab La Taqumus Sa’ah Hatta Yamurra Ar-Rajul bi Qabri Ar-Rajul… no. 3413)

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتـِي بِالْـمُشْرِكِينَ وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ وَإِنَّهُ سَيَكُونُ في أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ بَعْدِي

“Tidak akan bangkit hari kiamat sehingga beberapa qabilah dari umatku bergabung dengan musyrikin dan sehingga beberapa qabilah dari umatku menyembah berhala-berhala, dan sesungguhnya akan muncul pada umatku para pendusta berjumlah 30 masing-masing mereka mengaku nabi dan akulah penutup para nabi tiada nabi sesudahku.” (Shahih, HR. Abu Dawud Kitabul Malahim Wal Fitan, Bab Dzikrul Fitan wa Dala`iluha no. 4252)

Terbukti, apa yang beliau ucapkan terjadi. Telah muncul di masa beliau -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- Musailamah Al-Kaddzab di Yamamah yang kemudian terbunuh pada masa kekhalifahan Abu Bakar.
Lalu muncul Al-Aswad Al-‘Anasi di Yaman dan terbunuh sebelum meninggalnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu muncul Sajjah, seorang wanita yang mengaku Nabi kemudian dinikahi Musailamah. Tapi setelah kematian Musailamah, ia bertaubat dan masuk Islam kembali.

Muncul kemudian Thulaihah bin Khuwailid Al-Asadi, yang pada akhirnya ia bertaubat dan kembali memeluk Islam.

Kemudian muncul Mukhtar Ibnu Abi ‘Ubaid Ats-Tsaqafi.

Lalu muncul Al-Harits dan beberapa orang yang lain pada masa khilafah ‘Abbasiyyah. (Fathul Bari, 6/617)

Di masa akhir ini muncul Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani.
Tak ketinggalan, ada pula yang mengaku Rasul di negeri kita ini, yaitu Ahmad Mushaddeq yang menamai kelompoknya Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, yang kemudian mengaku bertaubat.1
Dan terus akan bermunculan Nabi maupun Rasul palsu, sehingga muncullah pamungkas mereka, yaitu Dajjal. (Fathul Bari, 6/617)

Sahabat Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam khutbahnya saat gerhana di masanya:

وَأَنَّهُ وَاللهِ لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَخْرُجَ ثَلاَثُونَ كَذَّاباً، آخِرُهُمُ الْأَعْوَرُ الدَّجَّالُ

“Dan sungguh –demi Allah– tidak akan bangkit hari kiamat sehingga muncul 30 pendusta, dan yang terakhir dari mereka adalah yang buta sebelah, Ad-Dajjal.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 5/16)
Yang pada akhirnya nanti ia akan mengaku bahwa dirinya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Empat dari Nabi-Nabi palsu itu adalah wanita. Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

فِي أُمَّتِي كَذَّابُونَ وَدَجَّالُونَ سَبْعَةٌ وَعِشْرُونَ، مِنْهُمْ أَرْبَعُ نِسْوَةٍ وَإِنِّي خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي

“Di tengah umatku ada para pendusta, pembohong berjumlah 27. Empat dari mereka adalah wanita. Aku adalah penutup para Nabi, tiada nabi setelahku.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 5/396)
Tentang bilangan 30 (tiga puluh)2 Ibnu Hajar rahimahullahu menjelaskan: “Bukan yang dimaksud oleh hadits adalah setiap orang yang mengaku nabi secara mutlak. Karena jumlah mereka tidak terhitung. Mayoritas mereka, pengakuan kenabiannya muncul karena penyakit gila… Tapi yang dimaksudkan (berjumlah sekitar 30) adalah yang memiliki kekuatan dan syubhat.” (Fathul Bari, 6/617)

Siapakah yang Mengklaim Kenabian?
Kenabian hanya akan diklaim oleh orang yang paling jujur atau orang yang paling dusta. Dan tidak akan tersamarkan antara yang ini dengan yang itu, kecuali bagi sebodoh-bodohnya orang. Bahkan isyarat-isyarat pada keadaan masing-masing yang mengaku nabi akan menyingkap hakikat keduanya. Tidak seorangpun mengklaim sebagai Nabi dari kalangan pendusta tersebut, kecuali nampak padanya kebodohan, kedustaan, dan kejahatan serta pengaruh kekuasaan setan atasnya, yang akan diketahui oleh orang yang memiliki daya pemilah walaupun hanya sedikit.

Dari Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

“Wajib atas kalian untuk berlaku jujur karena kejujuran itu akan menyampaikan kepada perbuatan baik dan perbuatan baik itu akan menyampaikan kepada Al-Jannah. Dan tetaplah seseorang berlaku jujur dan berusaha untuk itu sehingga ia tertulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan jauhi oleh kalian perbuatan dusta, karena sesungguhnya kedustaan itu akan menyampaikan kepada perbuatan jahat dan perbuatan jahat itu akan menyampaikan kepada neraka, dan tetaplah seseorang itu berdusta dan berusaha untuk dusta sehingga tertulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) [Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 150 dengan diringkas)

Dari hadits tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seorang yang mengaku-ngaku nabi niscaya akan tampak dari tindak tanduknya serta tutur katanya yang menunjukkan kedustaannya, karena kedustaan akan berbuah kejahatan.

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Di antara rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba adalah di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala utus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Lalu, di antara bentuk kemuliaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada mereka adalah ditutupnya para nabi dan rasul dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disempurnakannya agama yang lurus baginya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan dalam Kitab-Nya, juga rasul-Nya dalam Sunnahnya yang mutawatir bahwa tidak ada Nabi setelah beliau, agar semua orang yang mengaku-ngaku nabi tahu bahwa dirinya adalah pendusta, pembohong, penipu, sesat dan menyesatkan, walau bagaimanapun dia bersulap dan membawa berbagai macam sihir serta jimat-jimat…

Itu semua adalah palsu dan kesesatan, menurut pandangan orang yang berakal. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berlakukan terhadap Al-Aswad Al-‘Anasi dari Yaman serta Musailamah Al-Kadzdzab di Yamamah. Dari kejadian-kejadian dan kata-kata yang (dengan itu) semua orang yang berakal dan paham, mengetahui bahwa keduanya adalah pendusta dan sesat, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknati keduanya. Demikian pula semua yang mengaku-ngaku Nabi sampai pada hari kiamat, sampai pada akhirnya Al-Masih Ad-Dajjal. Masing-masing pendusta tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan bersama mereka perkara-perkara yang dengannya para ulama dan kaum mukminin dapat bersaksi tentang kedustaan pengakuannya. Ini termasuk kelembutan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap makhluk-Nya. Karena sesungguhnya mereka –dengan realita yang pasti– tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, kecuali hanya secara kebetulan, atau karena mereka punya tujuan tertentu di balik amar ma’ruf nahi mungkar mereka itu. Mereka pasti berada pada puncak kedustaan dan kejahatan dalam kata-kata dan perbuatan mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِيْنُ. تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيْمٍ

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa.” (Asy-Syu’ara`: 221-222)

Berbeda dengan keadaan para Nabi. Sesungguhnya mereka pada puncak kebaikan, kejujuran, kelurusan, istiqamah, serta keadilan dalam apa yang mereka katakan, mereka perintahkan dan mereka larang. Bersamaan dengan itu, segala yang mendukung mereka berupa hal-hal yang luar biasa, dalil-dalil yang jelas, dan bukti-bukti yang sangat nyata. Semoga shalawat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan salam-Nya selalu tercurah kepada mereka, senantiasa dan selalu selama masih ada langit dan bumi.” (Tafsir Al-Qur`anil Al-’Azhim, 3/502)

____________________________________________________________________________________________________

1 Demikian pula para pengikutnya mengaku bertaubat. Tentang taubat mereka ini, banyak kalangan yang tidak bisa disepelekan, meragukan kesungguh-sungguhan taubat mereka dengan indikasi yang cukup kuat. Sehingga kaum muslimin harus tetap mewaspadai ajaran-ajarannya. Tak mustahil mereka akan berganti baju.

2 Sebagian riwayat menyebut 30, sebagian menyebut mendekati tigapuluh, dan sebagian menyebut 27. Tidak ada kontradiksi antara riwayat-riwayat itu. Riwayat yang menyebut 30 atas dasar jabrul kasr, penggenapan dalam penyebutan bilangan, dan hal ini biasa dalam ungkapan bahasa Arab. (Fathul Bari, 13/87)

Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=674

Artikel Terkait:

Pengaplikasian Ranji dan Silsilah Raja-Raja di Minangkabau


Pengaplikasian Ranji dan Silsilah Raja-Raja di Minangkabau
Artikel menarik ini dikutip dari “cucu Stialam’s site” (http//marisma.multiply.com)yang ditulis dalam bahasa Malaysia campur Minang dengan judul “Apo Maksud Silsilah Raja-Raja di Minagkabau”. Catatan : Nama Raja Pagaruyung sebelum Adityawarman dalam artikel ini adalah Angkerawarman, di berbagai literatur nama mamak dari Adityawarman adalah Akarendrawarman.

=================================================

Apa dia maksud Silsilah ? Bagaimana mau meluruskan sejarah Minangkabau kerana ia tidak bisa hanya berdasarkan sebuah silsilah yang di susun kemudian, samada para ahli atau pakar sehebat apapun… inilah kata-kata ‘Datuk Bungsu’ mengingatkan kepada orang-orang luar yang datang dengan silsilah untuk menunjukkan hubungkait keluarga mereka dengan keluarga asal di Minangkabau….

 

SILSILAH adalah hubungkait antara keluarga sekaum dalam bentuk tertulis atau bertulis. Hubungkait antara sekaum ini berdasarkan garis bapak secara patrilineal. Unsur utamanya adalah garis keturunan dari lelaki ke lelaki. Sedangkan hubungkait antara keluarga sekaum berdasarkan garis ibu secara matrilineal, disebut RANJI.

Bagi masyarakat Minangkabau yang mengerti dengan hukum adat, RANJI ADALAH LEBIH PENTING DARI SILSILAH. Ranjilah yang dipedomani oleh semua orang, apakah seseorang itu berhak dan boleh menyandang gelar Datuk didalam kaumnya ataupun tidak. Sebab, seorang penghulu di dalam kaum, ibunya haruslah dari kaum ibunya sendiri. Jadi, seorang penghulu tidak perlu diangkat suku lain, tetapi harus diakui oleh kaumnya.

Ranji kaum disusun oleh kaum itu sendiri. Tidak mungkin ranji sebuah kaum di Pagaruyung, disusun atau dikotak katik oleh orang lain dari daerah lain. Dengan maksud lain, tidak akan ada sebuah kaum dalam menyusun ranjinya dengan cara “mintak angok kalua badan”…

Sekiranya benar-benar ada orang-orang yang ingin meluruskan sejarah di Minangkabau, mereka harus mempedomani naskah-naskah tua warisan orang-orang terdahulu yang sudah diakui semua pihak, seperti TAMBO PAGARUYUNG.

Didalam Tambo Pagaruyung kedua bentuk hubungkait itu sengaja dicantumkan, gunanya untuk menjaga keaslian keturunan Raja-Raja Pagaruyung berikutnya.

Garis perwarisan secara patrilineal merupakan payung cadangan bagi seorang penerjun bila payung utamanya tidak mengembang diudara.

Artinya, garis sistem patrilineal hanya dipakai apabila tidak ada lagi keturunan menurut garis matrilineal.

Oleh kerana itulah didalam Tambo Pagaruyung dicantumkan pepatah adat yang menyebut,

  • ” adat rajo turun tamurun,
  • adat puti sunduik basunduik”.

 

TAMBO PAGARUYUNG, adalah RANJI dan SILSILAH dari Raja-Raja Pagaruyung yang telah dimulai sejak sebelum Adityawarman menjadi Raja Pagaruyung sampai kepada Daulat Yang Dipertuan Sultan Alif Khalifatullah.

Tambo Pagaruyung pada masa itu disampaikan secara lisan turun temurun. Setelah baginda memerintah, penulis-penulis istana yang sudah memahami bahasa surat, menyalin Tambo Pagaruyung ke dalam tulisan Arab-Melayu dalam bentuk syair-syair.

Tradisi penyalinan Tambo Pagaruyung diteruskan oleh Daulat Yang Dipertuan Fatah ayahanda dari Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Pagaruyung yang ditangkap Belanda dan dibuang ke Betawi.

Baginda Sultan Fatah adalah generasi ketujuh setelah Sultan Alif Khalifatullah. Para ahli dan para penulis istana tulisan Arab-Melayu itu ditranskripsikan ke dalam tulisan Latin, budaya tulis yang dibawa oleh penjajahan Belanda. Namun transliterasi itu masih dalam bahasa Minangkabau lama.

Terakhir, Tambo Pagaruyung disalin dan disusun oleh ahli waris Raja-Raja Pagaruyung itu sebagaimana sebuah silsilah yang dikenal dalam penulisan silsilah zaman moden.

Generasi pewaris kerajaan yang menyusun ranji dan silsilah itu adalah generasi ketujuh pula dari Sultan Fatah.

Dengan demikian, setiap tujuh generasi Tambo Pagaruyung terus disempurnakan.

” Satitiak indak ilang, sabarih indak lupo”.

Tambo Pagaruyung adalah rujukan dan pedoman bagi siapa-siapa yang seharusnya menjadi Raja. Mereka yang tidak menjadikan Tambo Pagaruyung sebagai rujukan dalam pelurusan sejarah Kerajaan Pagaruyung, sama saja dengan “manggantang asok” atau “curito si Miun di lapau tapi tabiang”.

Raja di Pagaruyung bukan diturunkan dari ayah kepada anak laki-laki, tetapi kepada anak laki-laki dari saudara perempuan. Orang Minang mengekalkan aturan pewarisan ini dalam pantunnya:

  • Biriak-biriak turun ka samak
  • Dari samak ka halaman
  • Dari niniak turun ka mamak
  • Dari mamak ka kamanakan

Maksud pantun itu adalah,

bahwa pewarisan harus dari mamak ke kemenakan dan itulah juga inti hubungan saparuik atau sistem matrilineal itu.

 

Pewarisan menurut garis matrilineal seperti ini sudah berlangsung semenjak Raja Pagaruyung yang bernama Raja Angkerawarman menyerahkan mahkota kerajaannya kepada kemenakannya Adityawarman.

 

Hal itu kemungkinan kerana Adityawarman adalah anak dari Puti Dara Jingga, yang merupakan saudara perempuan sepupu dari Raja Angkerawarman.

Artinya, Adityawarman menerima penobatannya menjadi Raja dari mamaknya. Seandainya Adityawarman hanya mahu meraja-rajakan diri saja, tanpa jelas siapa yang memberikan wewenang kepadanya, dipastikan perkara ini akan ditolak oleh seluruh orang Minangkabau masa itu.

Tetapi oleh kerana dia menerima waris Raja itu dari mamaknya, itulah sebabnya dia diakui sebagai Raja Pagaruyung. Seandainya Minangkabau pada masa itu menganut sistem patrilineal, tentulah Adityawarman harus menjadi Raja di Majapahit bukan di Minangkabau.

Ketentuan adat seperti ini tidak banyak datuk-datuk yang tahu, kerana mereka terlalu sombong dan menganggap pengetahuannya sudah cukup untuk berkaok-kaok mahu meluruskan sejarah Minangkabau.

Padahal ketentuan adat seperti ini sudah dibakukan dalam UNDANG- UNDANG TANJUANG TANAH.

Sudah ” basuluah matoari, bagalanggang mato urang banyak”. Sudah ditulis dan dibukukan, sudah diteliti secara keilmuan. Buku Undang-Undang Tanjung Tanah itu adalah sebuah dokumen sejarah tertua kerajaan Melayu Minangkabau yang ditemukan oleh sarjana asing di daerah sekitar Kerinci.

Kalau benar-benar mahu meluruskan sejarah, sebelumnya harus mengerti dan faham dengan berbagai istilah yang lazim digunakan didalam pewarisan menurut hukum adat Minangkabau sebagaimana yang tercermin dalam Tambo Pagaruyung.

Ada yang di sebut ‘sapiah balahan’. iaitu maksudnya adalah, keturunan raja dari pihak perempuan secara matrilineal yang di rajakan diluar Pagaruyung.

Sekiranya keturunan raja yang ada di Pagaruyung punah, mereka ‘sapiah balahan’ itu berhak mewarisi dan melanjutkan kerajaan. Jika sapiah balahan masih ada, belum akan diserahkan pewarisan raja kepada pihak lain, apalagi kepada datuk-datuk yang tidak mempunyai kaitan dengan keturunan raja Pagaruyung.

Kemudian dari itu ada yang disebut ‘kuduang karatan’. Maksudnya adalah, keturunan raja Pagaruyung itu dari pihak sebelah laki-laki. Mereka pula tidak dapat menjadi raja di Pagaruyung, sekalipun pewaris raja Pagaruyung itu punah.

Mereka hanya berhak menjadi raja pada daerah-daerah yang telah ditentukan bagi mereka untuk menjadi raja. Kenapa? kerana mereka tidak berada dalam lingkar garis matrilineal, kerana ibu mereka bukan dari keturunan raja Pagaruyung.

Selanjutnya ada juga yang disebut ‘kapak radai, dan timbang pacahan’. Kedua kelompok ini pula terdiri dari orang-orang besar, raja-raja di rantau, datuk-datuk perangkat raja Pagaruyung yang diangkat dan diberi penghormatan oleh raja Pagaruyung. Tetapi malangnya ada sebahagian dari mereka sudah menganggap pula sebagai keturunan raja Pagaruyung, padahal mereka hanya kaki tangan raja saja.

Menurut Datuk “Bungsu” lagi ,

“TIDAK MUNGKIN ADA SUATU ATURAN ADAT YANG BERLAKU DI RANAH MINANG SEKARANG, KALAU TIDAK ADA YANG MENYUSUNNYA…”.

Pasti ada sebuah kekuasaan yang TELAH menetapkan aturan-aturan itu. Seandainya datuk-datuk saja yang menyusun aturan-aturan yang sebegitu rumit secara bersama-sama , dipastikan tidak akan kunjung selesai, kerana setiap datuk merasa dirinya merdeka dan punya pemikiran sendiri-sendiri.

Oleh kerana itulah, semua aturan adat Minangkabau yang ada dan dijalankan sampai sekarang adalah warisan dari struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung dahulu. Jika dahulu merupakan aturan sebuah kerajaan, sekarang sudah menjadi aturan adat dan budaya.

Struktur adat demikian, dicatat dan dihuraikan dalam

RANJI LIMBAGO ADAT ALAM MINANGKABAU.

Sekiranya seseorang itu ingin mempelajari atau mahu meluruskan sesuatu sejarah di Minangkabau, mereka mestilah mengetahui dan mempelajari dari naskah-naskah tua yang ada di Minangkabau tersebut. Naskah – naskah ini ada yang namanya

TAMBO ALAM MINANGKABAU,

yang berisi tentang kisah asal usul orang Minang termasuk juga sebagian silsilah raja-raja dan beberapa latar belakang terbentuknya aturan-aturan adat.

Ada pula yang namanya TAMBO ADAT MINANGKABAU atau UNDANG-UNDANG ADAT MINANGKABAU yang berisi aturan-aturan dan tatacara yang berlaku dalam kehidupan orang Minang.

Ada pula yang namanya TAMBO PAGARUYUNG yang berisi ranji dan silsilah keturunan dan ahli waris Raja Raja Pagaruyung.

Ada juga yang di sebut naskah TAMBO DARAH yang berisi ketentuan Raja Pagaruyung mengirim putera-puteranya ke delapan negeri untuk dirajakan disana. TAMBO DARAH ini juga dikenali dengan SURAT WASIAT SULTAN NAN SELAPAN.

Ada pula naskah yang disebut RANJI LIMBAGO ADAT ALAM MINANGKABAU., yang merupakan struktur dari kerajaan Pagaruyung itu.

Jadi ternyata orang-orang Minang dahulu sudah sangat RAPI menyusun aturan adat dan ranjinya. Apa yang mereka orang-orang Minang jalankan sekarang, adalah ketentuan-ketentuan yang sudah berlaku sejak sekian lama,

” TIDAK DIBUAT- BUAT DAN TIDAK PULA DIKARANG- KARANG “.

Didalam RANJI LIMBAGO ALAM MINANGKABAU,.. “pohon ada pucuknya, adat juga ada pucuknya”.

PUCUK ADAT itu adalah Raja Pagaruyung yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.

Ketiga Raja ini merupakan sebuah kesatuan yang utuh kerana masing-masingnya berasal dari keturunan yang sama,. ( Three in one ) Ketiga raja ini disebut juga RAJO TIGO SELO.

RAJO TIGO SELO dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh beberapa orang besar atau BASA yang kumpulannya disebut BASA AMPEK BALAI, semacam dewan menteri atau kabinet. Empat orang besar ini mempunyai tugas. bidangkuasa tertentu dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan Pagaruyung.

Pertama, Datuk Bandaro Putiah

yang bertugas sebagai Panitahan atau TUAN TITAH mempunyai kedudukan di Sungai Tarab dengan gelar kebesarannya PAMUNCAK KOTO PILIANG. Panitahan merupakan pimpinan, kepala atau yang dituakan dari anggota Basa Ampek Balai dalam urusan pemerintahan umpama Perdana Menteri.

Kedua, Tuan Makhudum

yang berkedudukan di Sumanik dengan gelar ALUANG BUNIAN KOTO PILIANG

yang bertugas dalam urusan perekonomian dan kewangan umpama Menteri Kewangan.

Ketiga, Tuan Indomo

yang berkedudukan di Saruaso dengan gelar PAYUNG PANJI KOTO PILIANG

yang bertugas dalam urusan pertahanan dan perlindungan kerajaan. Umpama Menteri Pertahanan seperti yang ada sekarang.

Keempat, Tuan Kadhi

yang berkedudukan di Padang Ganting dengan gelar SULUAH BENDANG KOTO PILIANG

yang bertugas mengurus masaalah-masaalah keagamaan dan pendidikan.

Selain Basa Ampek Balai sebagai pembantu Raja, juga dilengkapi dengan seorang pembesar lain yang bertugas sebagai panglima perang yang setara dengan anggota Basa Ampek Balai lainnya.

Beliau ini disebut Tuan Gadang

yang berkedudukan di Batipuh dengan gelar

HARIMAU CAMPO KOTO PILIANG.

Tuan Gadang ini bukanlah anggota dari Basa Ampek Balai tetapi kedudukanya setara dengan masing-masing anggota Basa Ampek Balai iaitu tetap takluk kepada raja.


(maklumat-maklumat dalam tulisan ini diambil dari waris keturunan Rajo Alam Pagaruyung)

Sejarah Adityawarman Diteliti Ulang


Mhitos Raja Minangkabau Adhityawarman 

detikNews-Medan

Sejarah sosok Adityawarman yang dikenal sebagai pendiri Kerajaan Malayupura (Pagaruyung) di Sumatera Barat, diteliti ulang oleh Prof Uli Kozok dari University of Hawaii, Amerika Serikat. Sejauh ini penelitian tersebut menemukan banyak kejanggalan dari catatan sejarah yang sudah dituliskan.

Penelitian tersebut masih dilaksanakan Uli Kozok hingga sekarang. Beberapa kejanggalan yang sudah ditemukan, antara lain fakta bahwa Adityawarman bukanlah utusan Majapahit untuk wilayah Pulau Sumatera, dan kebenaran tentang lokasi makamnya juga diragukan.

“Catatan yang menyebutkan makam Adityawarman di Kubur Raja, itu tidak benar. Tidak ada daerah dengan nama seperti itu, yang ada hanya Kubu Raja, atau Kubu Rajo, yang menunjukkan itu merupakan lokasi kubu atau benteng pertahanan kerajaan, bukan lokasi pemakaman. Sedangkan makam Adityawarman tidak diketahui sejauh ini,” ujar Kozok di Universitas Negeri Medan (Unimed) Jl. Willem Iskandar, Medan, Selasa (9/3/2010).

Kozok yang berbicara dalam seminar Meruntuhkan Mitos Adityawarman: Tokoh Penting dalam Sejarah Jawa-Sumatera, yang dilaksanakan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Unimed, lebih lanjut menyatakan, Adityawarman sebenarnya lahir dan dibesarkan di Pulau Sumatera bukan di Pulau Jawa dan bukan pula tinggal di Majapahit sebagaimana yang disampaikan sejarawan Slamet Muljana dalam Pemugaran Sejarah Persada Leluhur Majapahit (1983) yang menjadi referensi di Indonesia selama ini.

“Adityawarman bukanlah anak Dara Jingga, tapi keturunannya, mungkin keturunan kedua. Adityawarman lahir dan besar di Sumatera, lantas pada saat berumur 20-an tahun diundang ke Majapahit dalam rangka sahabatan Melayu – Majapahit, lantas diangkat menjadi menteri (wreddamantri) di Majapahit. Hal itu merupakan hal yang biasa saat itu,” kata Kozok, namun tidak memberikan contoh kasus pengangkatan serupa yang menunjukkan pengangkatan raja menjadi menteri di kerajaan lain sebagai suatu yang biasa.

Kozok juga menyatakan beberapa keterangan status Adityawarman sebagaimana tercatat kitab Negara Kertagama yang ditulis Mpu Prapanca tidak bisa dipercaya begitu saja dan perlu diteliti lebih mendalam. Sebab kitab tersebut banyak isinya yang hanya memuji-muji Majapahit dan memuji-muji raja.

Dalam seminar ini, tidak banyak bantahan yang muncul terhadap hasil awal penelitian Uli Kozok. Seminar di Unimed ini merupakan diseminasi awal penelitian tersebut, dan belum dilaksanakan di Sumatera Barat, yang merupakan menjadi daerah penelitian.(rul/djo)