Argumentasi Golongan Ingkar Sunnah


The logo of Ansar al-Sunnah

Image via Wikipedia

 

 

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Suntingan & Editor: Makmur Effendi

Calligrphy@by: Makmur Effendi

Callighraphy@by: Makmur Effendi

Selain berbagai ajaran dan pemahaman sesat di atas, yang membuat mereka hanya mau beriman kepada Al-Qur`an dan menerima Al-Qur`an saja sebagai satu-satunya kitab sumber syariat; mereka pun juga mempunyai sejumlah alasan kenapa menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. 

Meskipun menurut pengakuan mereka, sebetulnya yang mereka tolak bukanlah Sunnah Rasul, karena Sunnah Rasul adalah Al-Qur`an itu sendiri. Akan tetapi, yang mereka tolak sejatinya adalah hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Nabi. Sebab, hadits-hadits tersebut –menurut mereka– merupakan perkataan-perkataan yang dikarang oleh orang-orang setelah Nabi. Dengan kata lain; hadits-hadits itu adalah buatan manusia!

 

Setidaknya, ada sembilan alasan kenapa mereka menolak hadits Nabi, yaitu:

 

I.  Yang Dijamin Allah Hanya Al-Qur`an, Bukan Sunnah

 

Sekiranya Allah menghendaki akan menjaga agama Islam ini dengan Al-Qur`an dan Sunnah, niscaya Dia akan memberikan jaminan tersebut dalam Kitab-Nya. Akan tetapi, karena Allah menghendaki bahwa hanya Al-Qur`anlah yang Dia jamin, maka Allah sama sekali tidak memberikan jaminan kepada selain Al-Qur`an. Allah tidak memberikan jaminan-Nya kepada Sunnah. Allah telah mencukupkan agama ini dengan Al-Qur`an saja tanpa yang lain.

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ .

“Sesungguhnya Kamilah yang telah menurunkan adz-dzikr (Al-Qur`an), dan Kami benar-benar akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

Dalam ayat ini, yang dijamin akan dijaga oleh Allah adalah Al-Qur`an.

 

Bantahan

Orang Inkar Sunnah menafsirkan ayat ini dengan hawa nafsunya.

Kalau saja mereka mau berpikir jernih dan melihat dengan cermat, tentu mereka tidak akan berkata demikian. Sebab, kata yang dipakai di sana adalah “adz-dzikr,” bukan Al-Qur`an. Sekiranya yang dimaksud Allah adalah hanya menjaga Al-Qur`an saja, niscaya Dia akan mengatakannya secara tegas, dengan menyebutkan kata “Al-Qur`an,” bukan “adz-dzikr.” Sebagaimana termaktub dalam banyak ayat Al-Qur`an yang menyebutkan demikian.

Misalnya;

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ .

“Dan apabila dibacakan Al-Qur`an, maka dengarkan dan perhatikanlah baik-baik agar kalian mendapat rahmat.” (Al-A’raf: 204)

 

Akan tetapi, yang dipakai di sini adalah kata “adz-dzikr.” Dan, lafazh adz-dzikr sebagai ganti Al-Qur`an ini mempunyai makna dan hikmah tersendiri. Karena ia bisa bermakna sebagai Al-Qur`an dan Sunnah sekaligus. Sebab, selain Allah menjamin Al-Qur`an dengan penjagaan langsung dari sisi-Nya, Allah pun menjaga Sunnah Nabi-Nya melalui para sahabat dan ulama penerus mereka. Bagaimanapun juga, penjagaan Allah terhadap agama ini mencakup penjagaan-Nya terhadap Sunnah, karena Sunnah-lah yang menjelaskan Al-Qur`an.

Bagaimana bisa dikatakan bahwa Allah menjaga sesuatu yang dijelaskan (Al-Qur`an), dan meninggalkan sesuatu yang menjelaskan (Sunnah)? Sementara kita –umat Islam– tidak mungkin bisa memahami Al-Qur`an dan mengamalkan ajaran-Nya tanpa bantuan Sunnah Al-Muthahharah.

Itulah makanya, Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .

“Maka, bertanyalah kalian kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl :43)

Sebagian ahli tafsir mengatakan,[1] bahwa yang dimaksud dengan ahlu dzikr adalah ahlul ilmi, yakni para ulama. Sedangkan sebagian lagi mengatakan, bahwa ahlu dzikr adalah ahlul Qur`an, yang tidak lain adalah ulama juga. Dan, tidak disebut sebagai ulama jika tidak menguasai Al-Qur`an dan Sunnah sekaligus.

 

II.  Nabi Sendiri Melarang Penulisan Hadits

Sama seperti Syiah yang tidak konsisten dengan sikapnya terhadap Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhu. Betapa bencinya mereka (orang-orang Syiah) kepada Umar yang dianggap sebagai perampas hak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah.

Mereka juga mengatakan, bahwa Umar-lah yang mengharamkan nikah mut’ah, bukan Nabi. Namun, di satu sisi, mereka memuji-muji Umar atas sikapnya yang menegur bahkan sampai memukul Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu dikarenakan banyaknya Abu Hurairah meriwayatkan hadits dari Nabi.

Begitu pula dengan kelompok inkar Sunnah. Di satu sisi mereka menolak hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Tetapi di sisi lain, manakala ada hadits yang sesuai dengan nafsu syahwat mereka, maka mereka pun mendukungnya. Bahkan, tanpa malu-malu mereka menjadikannya senjata untuk membenarkan sikap mereka dalam menyerang Sunnah Nabi.

Mereka selalu mendengung-dengungkan dan berpegang pada hadits Nabi yang mengatakan,

لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا غَيْرَ الْقُرْآنِ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ . (رواه أحمد ومسلم والدارمي عن أبي سعيد الخدري)

“Janganlah kalian menulis sesuatu pun dariku selain Al-Qur`an. Barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur`an, maka hendaklah dia menghapusnya.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Ad-Darimi dari Abu Said Al-Khudri)[2]

Yang dimaksud “tentang aku” atau “dariku” dalam hadits ini adalah segala yang berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, baik itu berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), maupun persetujuan (sunnah taqririyah).[3]

Dan hadits lain yang diriwayatkan Imam Al-Khathib Al-Baghdadi (w. 463 H) dari Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah menemui sebagian sahabat yang ketika itu sedang menulis hadits.

Beliau berkata,

“Kalian sedang menulis apa?”

Mereka menjawab,

“Hadits-hadits yang kami dengar dari Anda.”

Beliau bersabda,

“Apakah kalian berani menulis kitab selain Kitab Allah? Sesungguhnya umat-umat sebelum kalian itu menjadi sesat dikarenakan mereka menulis kitab bersama-sama Kitab Allah Ta’ala.”[4]

Dua hadits ini dan hadits-hadits lain yang senada, mereka jadikan alasan untuk menolak Sunnah. Sebab, Nabi sendiri telah melarang penulisan hadits. Lalu, bagaimana mungkin umatnya mengaku memiliki hadits-hadits yang bersumber dari Nabi? Jadi, sesungguhnya yang namanya hadits Nabi itu tidak ada, karena Nabi sendirilah yang melarang menulis hadits. Dan, memang tidak mungkin bagi Nabi untuk mengatakan perkataan-perkataan selain Al-Qur`an!

 

Bantahan

Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi (w. 676 H) berkata,

Hadits-hadits tentang larangan menulis hadits telah mansukh (dihapus) dengan hadits-hadits yang membolehkan penulisan hadits. Sebab, ketika itu Nabi melarang menulis hadits karena khawatir hadits-hadits tersebut akan tercampur dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika kekhawatiran itu hilang dikarenakan para sahabat sudah matang Al-Qur`annya, maka Nabi pun mengizinkan para sahabat untuk menulis hadits.”[5]

Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dilarang adalah menulis hadits dalam satu tempat yang sama dengan Al-Qur`an. Sebab, dikhawatirkan seseorang akan bingung ketika membacanya, mana yang Al-Qur`an dan mana yang hadits Nabi? [6]

Dalam hal ini, banyak hadits yang menyebutkan dibolehkannya menulis hadits. Di antaranya, yaitu:

1. Hadits yang menceritakan ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersama kaum muslimin menaklukkan kota Makkah, lalu beliau berdiri menyampaikan khutbah. Ketika itu ada seorang laki-laki dari Yaman yang bernama Abu Syah meminta kepada Nabi agar khutbah tersebut dituliskan untuknya.

Nabi pun bersabda,

اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ . ) متفق عليه عن أبي هريرة(

Tuliskanlah untuk Abu Syah.” (Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah)[7]

 

2. Abdullah bin Amru bin Al-Ash Radhiyallahu Anhuma berkata,

“Dulu saya selalu menulis setiap perkataan yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam karena ingin menjaganya. Tetapi orang Quraisy melarang saya. Mereka mengatakan bahwa Rasul juga manusia biasa yang bisa marah dan gembira. Lalu, saya pun sementara menahan diri untuk tidak menulis hadits, hingga saya sampaikan hal ini kepada Rasulullah.

Maka, beliau pun memberikan isyarat dengan jari telunjuknya ke arah mulutnya seraya bersabda,

اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ .  (رواه أبو داود)

“Tulislah! Demi Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidak ada yang keluar darinya kecuali kebenaran.” (HR. Abu Dawud)[8]

Setelah menyebutkan sejumlah hadits tentang adanya kegiatan penulisan hadits masa Nabi, atas perintah beliau dan atau sepengetahuan beliau, DR. Salim Ali Al-Bahnasawi berkata, “Ini semua menunjukkan bahwa dilarangnya penulisan hadits ketika itu tidak lain adalah karena kekhawatiran tercampurnya Sunnah dengan Al-Qur`an. Untuk itu, apabila penyebab ini telah hilang, maka penulisan hadits adalah suatu keharusan.”[9]

Para ulama menggabungkan antara hadits-hadits yang melarang dan membolehkan penulisan hadits, sebagai berikut:

  1. Hadits-hadits yang membolehkan (menyuruh) menulis hadits telah menghapus hadits-hadits yang melarang. Dan, hal ini terjadi pada masa awal-awal Islam ketika masih dikhawatirkan terjadi kerancuan atau campur aduk antara Al-Qur`an dan hadits.
  2. Larangan menulis hadits adalah bagi orang yang hafalannya kuat, agar dia tidak tergantung pada tulisan. Adapun orang yang hafalannya lemah, maka dia boleh menulisnya.
  3. Larangan menulis hadits khusus bagi yang menuliskannya dalam satu tempat yang sama dengan tulisan Al-Qur`an, sebab dikhawatirkan akan bercampur.
  4. Nabi hanya melarang menulis hadits pada saat turunnya wahyu dan ditulisya ayat yang baru saja turun.
  5. Larangan menulis hadits hanya bagi yang belum pandai menulis, karena dikhawatirkan salah. Adapun yang sudah mahir menulis, maka dia boleh menulis hadits.
  6. Larangan hanya berlaku bagi para penulis wahyu yang bertugas menulis setiap wahyu yang turun. Adapun selain mereka, maka diperbolehkan menulis hadits.

Dan, dibolehkannya menulis hadits ini adalah masalah yang sudah disepakati oleh para ulama. Sebagaimana dinukil oleh Al-Khathib Al-Baghdadi, Al-Hafizh Ibnu Shalah, dan lain-lain.[10] Lagi pula, Nabi pun pernah (menyuruh sahabat untuk) menulis surat kepada para pemimpin kabilah di sekitar Madinah dan jazirah Arab, Kaisar, Heraklius, perjanjian damai Hudaibiyah, dan lain-lain.

 

III. Hadits Baru Dibukukan Pada Abad Kedua Hijriyah


Orang-orang inkar Sunnah sama saja dengan para orientalis dalam hal ini. Mereka mengatakan bahwa hadits-hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang terdapat dalam kitab-kitab Sunnah banyak bohongnya dan mengada-ada karena baru dibukukan ratusan tahun setelah Nabi wafat. Kata mereka, isi kitab-kitab yang diklaim sebagai berasal dari Nabi itu tak lain merupakan hasil dari gejolak politik, sosial, dan keagamaan yang dialami kaum muslimin pada abad pertama dan kedua. Jadi, bagaimana mungkin kitab yang dibukukan sekitar dua abad setelah wafatnya Nabi diyakini sebagai Sunnah Nabi?[11]

Ignaz Goldziher (1850 – 1921 M), salah seorang tokoh orientalis Yahudi dari Hongaria mengatakan, “Sebagian besar hadits adalah hasil perkembangan keagamaan, politik, dan sosial umat Islam pada abad pertama dan kedua. Tidak benar jika dikatakan bahwa hadits itu merupakan dokumen umat Islam sejak masa pertumbuhannya. Sebab, itu semua merupakan buah dari usaha umat Islam pada masa kematangannya.”[12]

Kata orang inkar Sunnah, apabila memang benar bahwa hadits-hadits itu bersumber dari Nabi, semestinya sudah dibukukan sejak masa Nabi hidup. Bukan dua abad setelah beliau wafat.

 

Bantahan

Pertama kali yang ingin kami katakan di sini adalah, bahwa sebetulnya anggapan seperti ini sama saja dengan menunjukkan kebodohan mereka sendiri. Sebab, yang mereka jadikan patokan adalah kitab Shahih Al-Bukhari (194 H – 256 H), Shahih Muslim (204 H – 262 H), dan kitab-kitab hadits seterusnya yang memang ditulis pada dan setelah abad kedua Hijriyah.

Entah karena tidak tahu atau pura-pura tidak tahu mereka ini, bahwa sesungguhnya pembukuan hadits-hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sudah dimulai jauh sebelum itu.

Tentu, ada perbedaan antara penulisan dan pembukuan.

Orang menulis, meskipun banyak yang ditulis, belum tentu menjadi buku jika tidak dibukukan.

Adapun pembukuan, adalah pengumpulan dari tulisan-tulisan yang telah disusun secara rapi. Apa pun definisinya, yang pasti para sahabat telah menulis hadits-hadits Nabi sejak beliau masih hidup. Akan tetapi dikarenakan sejumlah faktor, tulisan-tulisan hadits yang tersebut belum dikumpulkan di satu tempat dalam satu buku.

Kami tidak hendak menyebutkan berbagai alasan kenapa hadits-hadits tersebut tidak segera dibukukan, karena orang Inkar Sunnah yang sudah dibutakan mata dan hatinya oleh Allah tidak akan mau tahu.

Namun, kami hanya akan memberikan sejumlah fakta bahwa pembukuan hadits sudah dimulai sebelum abad kedua, dan bahwa kitab Shahih Al-Bukhari bukanlah kitab hadits yang pertama kali dalam Islam.

  1. Khalifah Umar bin Abdil Aziz (w. 99 H) yang termasuk generasi tabi’in, yakni generasi yang langsung bertemu para sahabat, dan mengambil ilmu langsung dari mereka, telah memerintahkan semua gubernurnya di seluruh wilayah Islam untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi. Umar berkata, “Carilah hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kumpulkanlah.”[13]

 

Para ulama mengatakan, “Adapun pembukuan hadits, maka itu terjadi pada penghujung abad pertama pada masa Khalifah Umar bin Abdil Aziz, atas perintahnya.”[14]

  1. Abu Bakar Muhammad bin Amru bin Hazm[15] (w. 98 H) atas perintah Khalifah Umar bin Abdil Aziz, membukukan hadits-hadits Nabi yang ada pada Amrah binti Abdirrahman dan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar.
  2. Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (58 H – 124 H), salah seorang ulama tabi’in, menyambut baik perintah Umar bin Abdil Aziz untuk membukukan hadits. Dia pun mengumpulkan hadits-hadits Nabi yang sudah dia tulis dan hafal, lalu dia letakkan dalam satu buku. Bisa dikatakan, jerih payah Ibnu Syihab ini adalah awal dari aktivitas penyusunan dan pembukuan hadits. Para ulama mengatakan, “Kalau bukan karena Az-Zuhri, sungguh akan banyak Sunnah yang hilang.”[16]
  3. Selanjutnya di Makkah, Ibnu Juraij (w. 150 H) juga membukukan hadits.
  4. Masih di Makkah, Ibnu Ishaq (w. 151 H) pun membukukan hadits.
  5. Di Madinah; Said bin Abi Arubah (w. 156 H), Ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H), dan Imam Malik bin Anas (w. 179 H).
  6. Di Syam; Abu Umar Al-Auza’i (w. 157 H), Husyaim bin Basyir (w. 173 H).
  7. Di Bashrah; Hammad bin Salamah (w. 167 H).
  8. Di Kufah; Sufyan Ats-Tsauri (w. 161 H).
  9. Di Yaman; Ma’mar bin Rasyid (w. 154 H).
  10. Di Mesir; Al-Laits bin Sa’ad (w. 154 H).
  11. Di Khurasan; Abdullah bin Al-Mubarak (w. 181 H).

 

Kemudian, memasuki abad II yang sebetulnya adalah kelanjutan dari masa sebelumnya, pembukuan hadits mulai lebih teratur penyusunannya dari segi pembagian bab, masalah yang dibahas, hadits yang berulang, dan sahabat yang meriwayatkan. Lalu, muncullah kitab-kitab hadits berikutnya;

  1. Musnad Abu Dawud Sulaiman Ath-Thayalisi (w. 204 H).
  2. Musnad Abu Bakar Abdullah Al-Humaidi (w. 219 H).
  3. Musnad Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H).
  4. Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amru Al-Bazzar (w. 292 H)
  5. Musnad Abu Ya’la Ahmad Al-Maushili (w. 307 H).
  6. Al-Jami’ Ash-Shahih/Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari (w. 256 H).
  7. Al-Jami’ Ash-Shahih/Imam Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi (w. 261 H).
  8. Sunan At-Tirmidzi/Imam Abu Isa At-Tirmidzi (w. 279).
  9. Sunan Abu Dawud/Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani (w. 275 H).
  10. Sunan An-Nasa`i/Abu Abdirrahman An-Nasa`i (w. 303 H).
  11. Sunan Ibnu Majah/Muhammad bin Yazid bin Majah (w. 275 H).
  12. Sunan Asy-Syafi’i/Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (w. 204 H).
  13. Sunan Ad-Darimi/Abdullah bin Abdurrahman Ad-Darimi (w. 255 H).
  14. Sunan Ad-Daruquthni/Ali bin Umar Ad-Daruquthni (w. 385 H).
  15. Dan lain-lain…

 

Kalau orang inkar Sunnah mau jujur, dari mana mereka tahu bahwa Imam Al-Bukhari hidup pada abad kedua dan bahwa pada masa Nabi belum ada pembukuan[17] hadits? Bukankah itu dari sejarah? Bukankah jika mereka mengetahui hal ini, artinya mereka juga membaca buku? Dan, bukankah mereka juga sama saja dengan mengambil pendapat orang lain dalam masalah ini? Tetapi, kenapa mereka selalu mengatakan; ikuti saja Al-Qur`an, jangan ikuti yang lain?!!

 

Ringkas kata, apa yang mereka katakan bahwa Sunnah baru dibukukan pada abad kedua adalah tidak benar.

Sebab, sebelum abad kedua pun, sudah banyak ulama umat ini yang membukukan Sunnah. Selanjutnya, jika dengan tuduhan ini mereka ingin mengatakan bahwa karena dibukukan ratusan tahun setelah Nabi meninggal, maka isi kitab-kitab Sunnah itu adalah bohong dan tidak bisa dianggap sebagai Sunnah Nabi; juga tidak benar. Sebab, justru isi dari kitab-kitab Sunnah itulah yang sudah diketahui, dihafal, dan diamalkan sejak masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Bagaimanapun juga, tidak selalu suatu masalah atau peristiwa harus dibukukan saat itu juga. Betapa banyak buku-buku tentang suatu kasus atau peristiwa tertentu/bersejarah yang baru dibukukan setelah semua pelakunya meninggal. Dan betapa banyak biografi atau perkataan-perkataan seseorang yang baru dibukukan bertahun-tahun setelah yang bersangkutan tiada.

 


[1] Lihat misalnya; Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an/Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi/jilid 5/hlm 2872/terbitan Dar Al-Fikr, Beirut/Cetakan I/1999 M – 1419 H, dan Taysir Al-Karim Ar-Rahman/Syaikh Abdurrahman As-Sa’di/hlm 441/terbitan Markaz Fajr li Ath-Thiba’ah, Kairo/Cetakan I/2000 M – 1421 H.

[2] Hadits shahih. Lihat; Shahih Muslim/Kitab Az-Zuhd wa Ar-Raqa`iq/Bab At-Tatsabbut fi Al-Hadits wa Hukm Kitabati Al-’Ilm/hadits nomor 5326, Musnad Ahmad/Kitab Baqi Musnad Al-Muktsirin/Bab Musnad Abi Sa’id Al-Khudri/hadits nomor 1110, dan Sunan Ad-Darimi/Kitab Al-Muqaddimah/Bab Man Lam Yara Kitabata Al-Hadits/451. Semuanya dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu.

[3] Sebagian ulama ada juga yang menambahkan macam sunnah yang keempat, yaitu sunnah pembawaan (sunnah washfiyah).

[4] Mabahits fi ‘Ulum Al-Hadits/Syaikh Manna’ Al-Qatha/Maktabah Wahbah – Kairo/hlm 29-31/Cetakan IV/2004 M – 1425 H, menukil dari Al-Baghdadi dalam Taqyid Al-’Ilm, yang dikoreksi DR. Yusuf Al-Isy.

[5] Syarh Shahih Muslim/Imam Abu Zakariya An-Nawawi/juz 18/hlm 104/terbitan Maktabah At-Taufiqiyah, Kairo.

[6] Sda.

[7] Lihat; Shahih Al-Bukhari/Kitab Ad-Diyyat/Bab Man Qutila Lahu Qatil/hadits nomor 6372, dan Shahih Muslim/Kitab Al-Hajj/Bab Tahrim Makkah wa Shaidiha/hadits nomor 2414. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud juga meriwayatkan hadits ini.

[8] Sunan Abi Dawud/Kitab Al-’Ilm/Bab fi Kitab Al-’Ilm/hadits nomor 3161. Imam Ahmad (6221) dan Ad-Darimi (484) juga meriwayatkan hadits ini.

[9] As-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha/DR. Salim Ali Al-Bahnasawi/hlm 53/Dar Al-Wafa` – Manshurah, Mesir/Cetakan ke-IV/1992 M- 1413 H.

[11] Kelompok inkar Sunnah bisa saja membantah bahwa mereka berpendapat demikian bukan karena terpengaruh kaum orientalis. Karena mereka memang sangat anti mengutip pendapat orang lain dalam menyebarkan dakwah sesatnya. Mereka selalu mengatakan, “Ikuti saja Al-Qur`an, itu sudah cukup. Jangan ikuti siapa pun selain Al-Qur`an.” Hal ini bisa dilihat dari sikap tokoh-tokoh mereka, seperti Taufiq Shidqi, Ahmad Amin, dan Abu Rayyah yang tidak mau menisbatkan pendapatnya kepada para pendahulunya atau kepada orientalis yang pendapatnya mereka kutip. (Lihat; http://www.islamweb.net/ver2/archive/readArt.php?lang=A&id=36524)

[12] Dikutip dari buku Difa’ ‘An Al-Hadits An-Nabawi/DR. Ahmad Umar Hasyim/hlm 36.

[13] As-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha/DR. Salim Ali Al-Bahnasawi/hlm 66.

[14] Mabahits fi ‘Ulum Al-Hadits/Syaikh Manna’ Al-Qaththan/hlm 35.

[15] Ada yang mengatakan, bahwa gubernur Madinah waktu itu adalah Amru bin Hazm,ayahnya Muhammad bin Amru ini. Wallahu a’lam.

[16] Op. cit. no. 39.

[17] Pembukuan, bukan penulisan.

 

IV. Banyak Pertentangan Antara Satu Hadits dengan Hadits yang Lain


Di antara alasan yang membuat mereka menolak hadits adalah terdapat banyaknya hadits-hadits yang bertentangan satu sama lain. Kata mereka, sekiranya itu adalah benar berasal dari satu sumber, yakni dari Nabi, niscaya tidak akan ada di dalamnya hadits yang bertentangan. Lalu mereka pun menyebutkan sejumlah contoh hadits dalam suatu masalah yang saling bertentangan. Dan, di antara hadits yang sering mereka permasalahkan, misalnya adalah hadits tentang bacaan tasyahhud, dimana banyak sejumlah riwayat tentang bacaan dalam tasyahhud ini.[1] Kemudian, dikarenakan hal ini, mereka (inkar Sunnah) pun mengganti bacaan tasyahhud dengan ayat kursi![2]

 

Bantahan


Demikianlah orang inkar Sunnah. Ada-ada saja alasan yang mereka cari untuk mementahkan Sunnah. Padahal, sesungguhnya apa yang terdapat dalam Sunnah Nabi itu bukanlah pertentangan, melainkan perbedaan. Kalaupun toh, benar ada hadits-hadits yang bertentangan satu sama lain, maka di sana sudah ada patokan untuk memilah, memilih, dan menentukan mana hadits yang harus dikedepankan.

Meskipun tidak sedikit dua –atau lebih– hadits yang berbeda bisa diamalkan semuanya. Sebab, para sahabat memang mendengar dari Nabi atau melihat beliau dalam kondisi yang berbeda-beda. Sehingga hadits yang mereka riwayatkan pun berbeda pula. Namun demikian, justru itulah fleksibelitas ajaran Islam ini. Tidak kaku, lentur, dan mudah.

 

Di antara standar yang biasa dipakai para ulama dalam menghadapi masalah ini, yaitu dengan cara:

  1. Melihat mana hadits yang lebih kuat dan mana yang lemah.[3]
  2. Melihat mana hadits yang muncul lebih dulu dan mana yang belakangan.[4]
  3. Melihat siapa yang meriwayatkan dan dalam masalah apa.[5]
  4. Melihat kepada siapa hadits tersebut ditujukan dan dalam kasus apa.[6]
  5. Menyatukan dua –atau lebih– hadits yang berbeda jika sama-sama kuat, tidak ada pertentangan, dan memungkinkan.[7]
  6. Melihat mana yang lebih utama untuk diamalkan dan bahwa hadits yang lain juga boleh diamalkan.[8]

 

Dengan demikian, tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa dalam Sunnah Nabi terdapat hadits-hadits yang bertentangan.

Imam Abu Bakar bin Khuzaimah (w. 311 H) berkata, “Tidak ada dua hadits yang bertentangan dari segi apa pun. Barangsiapa yang mendapatkan sesuatu dalam masalah ini, silahkan datang kepadaku, akan aku gabungkan dua hadits itu.”[9]

 

V. Hadits Adalah Buatan Manusia

Orang inkar Sunnah selalu mendengung-dengungkan bahwa yang diturunkan Allah Ta’ala hanyalah Al-Qur`an, dan bahwa selain Al-Qur`an adalah bukan dari Allah. Mereka hendak mengatakan, bahwa hadits-hadits Nabi atau Sunnah adalah buatan manusia, yang tidak mesti diikuti kecuali jika cocok dengan akal. Demikianlah salah satu cara mereka untuk menjauhkan kaum muslimin dari Sunnah Nabinya.

Salah seorang tokoh mereka, DR. Muhammad Khalafallah berkata, “Selain Al-Qur`an adalah pemikiran manusia, dimana kita berinteraksi dengannya sesuai dengan akal kita.”[10]

Perkataan semacam ini kurang lebih sama dengan apa yang dikatakan Goldziher, “Ribuan hadits adalah buatan para ulama yang ingin membuat agama ini menjadi sempurna. Para ulama itu membuat-buat hadits sendiri karena dalam Al-Qur`an hanya sedikit hukum yang diberikan.”[11]

Setelah memaparkan sejumlah pendapat dari DR. Ishmat Saifuddaulah (seorang tokoh inkar Sunnah) yang menyerang Sunnah dan mendiskreditkan para ulama, DR. Salim Ali Al-Bahnasawi menyimpulkan bahwa DR. Ishmat menganggap semua yang dianggap sebagai sumber syariat Islam yang berasal dari manusia adalah dibuat-buat (maudhu’); berbagai kaedah yang ditetapkan manusia adalah dibuat-buat, istimbat adalah dibuat-buat, qiyas dibuat-buat, istihsan dibuat-buat, istishab dibuat-buat, ijma’ dibuat-buat… dst.

 

Bantahan

Jika yang mereka maksud dengan “hadits adalah buatan manusia” yaitu hadits-hadits yang terbukti shahih secara sanad (dan matan), maka sungguh perkataan mereka ini adalah dusta yang nyata. Sebab, hadits-hadits tersebut adalah benar berasal dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang diriwayatkan secara bersambung dari orang yang dipercaya dan dari orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi.

Para ulama hadits meletakkan standar baku yang ekstra ketat dalam menerima hadits.

Mereka selalu memilah dan memilih dengan penuh hati-hati mana hadits yang bisa diterima dan mana hadits yang mesti ditolak. Mana orang yang bisa dipercaya dan diterima haditsnya, dan mana orang yang dianggap lemah atau tidak bisa dipercaya atau pendusta sehingga haditsnya layak ditolak.

 

Inilah salah satu keistimewaan agama ini, dimana ajaran-ajarannya dijaga oleh para ulamanya, orang-orang yang saleh, bertakwa, dan bisa dipercaya. Para sahabat menerima Al-Qur`an dan hadits langsung dari Nabi. Lalu, para sahabat mentransfer apa yang mereka dapatkan dari Nabi kepada sesama sahabat yang belum mengetahui dan kepada generasi tabi’in senior.

Kemudian, para tabi’in senior ini mentransfer ilmunya kepada sesama mereka dan kepada generasi tabi’in yang lebih muda. Dan, pada masa tabi’in inilah hadits-hadits Nabi –yang sebelumnya sudah banyak ditulis oleh para sahabat dan tabi’in– sudah mulai dibukukan.[12]

Semua ini dilakukan dengan penuh amanah, ikhlas, disertai rasa takut luar biasa jika mereka sampai mendustakan hadits Nabi. Bagaimana tidak, mereka sadar betul bahwa membuat-buat atau memalsukan hadits Nabi sama saja dengan menceburkan diri sendiri ke dalam neraka! Mereka selalu mencamkan sabda Nabi dalam hal ini,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ .

(متفق عليه)

“Barangsiapa yang mendustakan aku dengan sengaja, maka hendaklah dia siapkan tempat duduknya di neraka.” (Muttafaq Alaih)[13]

Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi (w. 456 H) berkata, “Menukil dari orang yang bisa dipercaya (tsiqah) dari orang yang bisa dipercaya yang terus bersambung hingga sampai kepada Nabi, adalah karakteristik umat Islam yang tidak dimiliki oleh umat lain.”[14]

Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. kalau bukan karena sanad, niscaya setiap orang akan bicara sesuka hatinya.”[15]

Ada banyak fakta dalam sejarah penulisan dan pembukuan hadits ini yang menggambarkan betapa hati-hatinya para ulama salafush-shalih dalam menerima sebuah hadits. Mereka selalu menanyakan hadits tersebut diterima dari siapa dan bertemu di mana. Diriwayatkan, bahwa Umar bin Musa bertemu dengan Ufair bin Ma’dan Al-Kula’i di masjid. Lalu, Umar menyebutkan beberapa hadits dari seseorang yang dia katakan sebagai syaikh yang saleh.

Ufair berkata, “Siapa yang engkau maksud dengan syaikh yang saleh ini? Beri tahukan kepada kami siapa namanya, mungkin kami mengenalnya.”

Umar, “Dia adalah Khalid bin Ma’dan.”

Ufair, “Pada tahun berapa engkau bertemu dengannya?

Umar, “Pada tahun seratus delapan.”

Ufair, “Di mana engkau bertemu dengannya?”

Umar, “Di Perang Armenia.”

Maka, Ufair pun berkata, “Takutlah engkau kepada Allah, ya syaikh… Janganlah engkau berbohong. Khalid bin Ma’dan itu meninggal tahun seratus empat. Bagaimana mungkin engkau bertemu dengannya empat tahun setelah dia meninggal? Aku tambahkan lagi, sesungguhnya Khalid bin Ma’dan sama sekali tidak pernah ikut Perang Armenia. Perang yang dia ikuti adalah Perang Romawi!”[16]

Tidak heran, apabila dengan penyeleksian hadits yang sangat ketat ini, para ulama masa lalu meletakkan sejumlah disiplin ilmu dalam hal ini. Ada yang namanya ilmu riwayah, ilmu dirayah, al-jarh wat ta’dil (mencela dan memuji), tarikh rijal al-hadits, ilmu mukhtalaf hadits, nasikh dan mansukh hadits, dan sebagainya.

Ini semua tak lain karena mereka sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadits. Sehingga, sangatlah mengada-ada dan dibuat-buat jika orang inkar Sunnah mengatakan bahwa hadits adalah buatan manusia! Manusia yang mana?!

Memang, kita mengakui bahwa banyak hadits yang dibuat oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang disandarkan kepada Nabi. Akan tetapi, hadits-hadits semacam ini tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang muktabar seperti Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, misalnya. Bahkan, kitab-kitab hadits yang lain pun pada dasarnya tidak memuat hadits-hadits palsu.

Sesungguhnya, hadits-hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu sendiri tidak ada masalah.

Sebab, para imam hadits pendahulu kita sudah membagi-bagi derajat hadits. Ada yang mutawatir, shahih, hasan, dhaif, dan maudhu’. Nah, hadits maudhu’ inilah yang merupakan sejelek-jeleknya hadits, jika memang ia dimasukkan dalam kategori sebagai hadits.

Hadits maudhu’ inilah yang merupakan buatan manusia yang disandarkan kepada Nabi, dan sama sekali tidak boleh diriwayatkan kecuali untuk memperingatkan bahwa itu adalah hadits maudhu’. Dan, barangsiapa yang menganggap bahwa boleh meriwayatkan hadits maudhu’ untuk sekadar bercerita, atau memberi nasehat; berarti dia telah sesat lagi menyesatkan.[17] Sebab, sudah jelas larangan Nabi dalam hal ini, sebagaimana telah kami sebutkan haditsnya di atas.

 

Dalam buku “Difa’ ‘An Al-Hadits An-Nabawi,” DR. Ahmad Umar Hasyim menyebutkan enam sebab yang membuat munculnya hadits palsu ini.

1. Dikarenakan fanatisme politik,

dimana pada waktu itu kaum muslimin –awalnya– pecah menjadi tiga kelompok besar;  Syiah, pro-Muawiyah, dan Khawarij. Kemudian, muncul lagi kaum Muktazilah, Murji`ah, dan seterusnya. Kondisi politik demikian mendorong masing-masing kelompok membuat hadits-hadits palsu untuk mendukung kelompoknya.

Mereka tidak mungkin sanggup dan berani memalsukan Al-Qur`an karena ia sudah mutawatir dan banyak kaum muslimin yang hafal Al-Qur`an. Maka, yang bisa mereka lakukan adalah memalsukan hadits.

2. Karena fanatisme kesukuan.

Yang paling menonjol adalah hadits-hadits palsu tentang kelebihan orang Arab atas non-arab, dimana kemudian orang-orang Persia pun membuat hadits-hadits palsu yang melebihkan mereka atas orang Arab.

3. Zindiq,

yaitu orang-orang non-muslim dari Yahudi, Majusi, dan lain-lain yang menampakkan diri sebagai seorang muslim. Mereka membuat-buat hadits palsu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa untuk menghancurkan Islam dan melemahkan kekuatannya.

4. Hadits-hadits palsu yang dibuat  tukang dongeng (al-qushshas).

Mereka senang mempermainkan perasaan dan emosi orang awam dengan membuat-buat hadits palsu yang menyentuh hati dan terkadang membuat orang terkagum-kagum dengan cerita yang mereka bawakan.

Para tukang dongeng ini sama sekali tidak ambil pusing dengan ancaman Nabi bagi orang yang berani mendustakan beliau. Bagi mereka, yang penting adalah bisa menjadi pusat perhatian orang-orang di sekelilingnya dengan berbagai dongeng palsunya.

5. Perbedaan madzhab fikih,

dimana sebagian pendukung masing-masing madzhab ada yang ‘kebablasan’ dalam mengunggulkan madzhabnya atas madzhab lain. Misalnya, ‘hadits’ yang diriwayatkan Muhammad bin Ukasyah Al-Kirmani[18] ketika ditanya tentang orang yang mengangkat tangannya ketika ruku’, dia berkata, “Al-Musayyib bin Wadhih mengabarkan kepada kami dari Anas bin Malik secara marfu’; Barangsiapa yang mengangkat tangannya ketika hendak ruku’, maka tidak ada shalat baginya!”

6. Kebodohan,

sebagian kaum muslimin yang di satu sisi mereka dikenal dengan kesalehannya, ketaatannya, dan zuhud.

Namun, di sisi lain, mereka adalah orang-orang yang sebetulnya bodoh dalam masalah agama. Mereka dengan sengaja membuat-buat hadits palsu yang disandarkan kepada Nabi, untuk mendorong umat Islam agar rajin beribadah, lebih dekat kepada Allah, dan meninggalkan kenikmatan duniawi yang sementara. Orang-orang yang dikenal sebagai zuhud dan ahli ibadah ini banyak membuat hadits palsu dalam masalah fadha`il Al-Qur`an dan keutamaan amal-amal tertentu.[19]

 

Kalau mereka ditanya kenapa mereka membuat-buat hadits palsu, mereka mengatakan, “Kami tidak mendustakan Nabi, tetapi kami berdusta untuk Nabi.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H) berkata,

“Ini adalah kesempurnaan bodohnya mereka, minimnya akal mereka, dan banyaknya kefasikan serta kedustaan mereka. Sesungguhnya Nabi tidak membutuhkan orang lain untuk melengkapi dan menyempurnakan syariatnya.”[20]

Lalu, bagaimana cara kita mengetahui bahwa hadits itu palsu atau tidak?

Imam Abul Farj Abdurrahman Ibnul Jauzi (w. 597 H) memberikan tips yang cukup jitu tapi mudah,

“Apabila engkau melihat suatu hadits yang bertentangan dengan akal sehat, atau menyalahi Al-Qur`an dan Sunnah shahihah, atau bertentangan dengan kaedah baku yang telah ditetapkan para ulama; maka ketahuilah bahwa itu adalah hadits palsu.”[21]

 

Imam Abu Abdillah Muhammad Ibnul Qayyim (w. 751 H) menambahkan,

bahwa di antara ciri-ciri hadits palsu (maudhu’), yaitu; menyalahi peristiwa sejarah yang sudah terjadi, hadits-hadits yang diriwayatkan orang-orang Syiah Rafidhah tentang keutamaan ahlul bait, dan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh kelompok Murji`ah.[22]

 

Selanjutnya, jika yang mereka maksud dengan “hadits adalah buatan manusia,” yaitu bahwa para imam hadits itu sendirilah adalah yang membuat-buat hadits yang terdapat dalam kitab hadits mereka;[23] maka ini lebih konyol lagi!

Memangnya, kaum muslimin dan para ulamanya ketika itu pada ke mana? Apa mereka akan mendiamkan begitu saja orang yang membuat-buat ribuan hadits dan menyandarkannya kepada Nabi?

Lagi pula, siapa yang sanggup membuat hadits sebanyak itu dalam berbagai persoalan dari sejak bangun tidur hingga akan beranjak tidur lagi, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama manusia, plus kabar masa lalu dan yang akan datang secara detil dan terperinci?

Dan, kenapa dalam kitab-kitab hadits itu banyak sekali terdapat hadits yang sama dan dalam masalah yang sama, padahal yang ‘membuat’ adalah orang yang berbeda? Orang yang berakal niscaya akan berpikir, bahwa di sana pasti ada satu sumber yang sama-sama dipakai sebagai rujukan dalam hadits-hadits tersebut, yaitu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.


[1] Yang terkenal dalam masalah ini, adalah tasyahhud Ibnu Mas’ud, tasyahhud Ibnu Abbas, dan tasyahhud Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhum.

[2] Ini lebih aneh lagi. Sesuatu yang ada dasarnya, malah mereka ganti dengan sesuatu yang tidak ada dasarnya, yang tak lebih dari hawa nafsu semata.

[3] Misalnya, hadits-hadits dalam masalah mandi Jum’at. Dalam hal ini, hadits yang menyatakan wajibnya mandi Jum’at lebih kuat daripada yang menyatakan cukup berwudhu saja.

[4] Biasanya, ini adalah hadits-hadits dalam masalah nasikh mansukh. Misalnya, hadits tentang larangan menulis hadits dan bolehnya menulis hadits.

[5] Misalnya, dalam masalah kewanitaan dan rumah tangga. Dalam hal ini, hadits-hadits dari para istri Nabi didahulukan.

[6] Misalnya, hadits Nabi kepada Salim maula Hudzaifah dalam masalah menjadi anak sesusuan setelah dewasa dan jumlah susuannya.

[7] Biasanya, ini adalah hadits-hadits yang berkaitan dengan fikih. Misalnya, hadits tentang jari telunjuk ketika duduk tasyahhud; digerakkan atau tidak.

[8] Misalnya, hadits tentang minum sambil duduk atau berdiri, dimana minum sambil duduk lebih utama, tapi boleh minum sambil berdiri.

[9] Al-Ba’its Al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum Al-hadits li Al-Hafizh Ibni Katsir/Syaikh Ahmad Muhammad Syakir/hlm 148/Maktabah Dar At-Turats, Kairo/Cetakan ke-3/1979 M – 1399 H.

[10] As-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha/hlm 341, mengutip dari Al-Ghazw Al-Fikri/hlm 275.

[11] Ibid. hlm 327.

[12] Dan, di antara generasi tabi’in yang terkenal dengan usahanya membukukan Sunnah, yaitu Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri.

[13] Imam An-Nawawi (dalam Syarh Shahih Muslim) menukil pendapat dari banyak ulama yang menyebutkan bahwa ini adalah hadits mutawatir, diriwayatkan oleh hampir seluruh imam hadits dari enam puluh orang sahabat lebih.

[14] Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur`an/Syaikh Manna’ Al-Qaththan/hlm 59.

[15] Ibid, hlm 55.

[16] Al-Kifayah fi ‘Ilm Ar-Riwayah/Al-Khathib Al-Baghdadi/hlm 119.

[17] As-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha/DR. Salim Ali Al-Bahnasawi/hlm 76.

[18] Al-Kirmani ini bermadzhab Hanafi. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam madzhab Hanafi; tidak mengangkat tangan ketika akan ruku’.

[19] Lihat; Difa’ ‘An Al-Hadits An-Nabawi/DR. Ahmad Umar Hasyim/hlm 81 – 84 secara ringkas.

[20] Al-Ba’its Al-Hatsits Syarh Ikhtishar ‘Ulum Al-Hadits li Al-Hafizh Ibni Katsir/Syaikh Ahmad Muhammad Syakir/hlm 66.

[21] Ibid, hlm 65.

[22] Op. cit. no. 61 hlm 93.

[23] Dengan kata lain; Shahih Al-Bukhari adalah hadits-hadits ciptaan Imam Al-Bukhari, Shahih Muslim adalah karangan pribadi Imam Muslim, dan seterusnya.

VI. Hadits Bertentangan dengan Al-Qur`an

 

Orang inkar Sunnah dengan segala kebodohan dan kesesatannya mengatakan bahwa banyak hadits yang bertentangan dengan Al-Qur`an. Mereka benar-benar menutup mata (atau memang Allah telah membutakan mata mereka?) bahwa fakta yang sesungguhnya bukanlah pertentangan antara hadits dengan Al-Qur`an, melainkan Sunnah datang untuk menjelaskan sebagian isi Al-Qur`an yang masih samar, dan memerinci sebagian hukum dalam Al-Qur`an yang disebutkan secara global. Bahkan, ada pula Sunnah yang menasakh (menghapus) ayat Al-Qur`an. [1]

Mereka pun menyodorkan sejumlah hadits yang mereka anggap bertentangan dengan Al-Qur`an.

Misalnya,

  1. Hadits tentang shalat lima waktu. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,[2]

خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ .

(متفق عليه عن طلحة بن عبيد الله)

“Lima kali shalat dalam sehari semalam.” (Muttafaq Alaih dari Thalhah bin Ubaidillah)

 

Menurut mereka, hadits ini dan hadits-hadits lain tentang kewajiban shalat lima waktu bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا .

“Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir hingga gelap malam dan (dirikan pula) shalat fajar.[3] Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Israa`: 78)[4]

 

Dalam ayat ini sama sekali tidak disebutkan shalat lima waktu. Allah hanya menyebutkan tiga waktu shalat dalam Al-Qur`an. Jadi, menurut mereka, hadits tentang shalat lima waktu bertabrakan dengan Al-Qur`an!

 

2. Hadits Nabi tentang kadar zakat mal 2,5 %.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنِّي قَدْ عَفَوْتُ لَكُمْ عَنْ صَدَقَةِ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ وَلَكِنْ هَاتُوا رُبُعَ الْعُشْرِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمًا .

(رواه ابن ماجه عن علي بن أبي طالب)

“Sesungguhnya aku telah memaafkan kalian dari zakat kuda dan budak. Tetapi, berikanlah dua setengah persen, dari setiap empat puluh dirham; satu dirham.” (HR. Ibnu Majah dari Ali bin abi Thalib)[5]

 

Hadits ini bertentangan dengan ayat,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا .

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.” (At-Taubah: 103)

Dalam ayat ini, dan dalam banyak ayat tentang perintah zakat dalam Al-Qur`an, Allah sama sekali tidak menentukan bahwa kadar zakat adalah dua setengah persen. Jadi, hadits tentang zakat ini bertentangan dengan Al-Qur`an!

 

3. Hadits tentang haramnya menikahi suami ibu susuan dan anak-anak dari saudara sesusuan.

Dalam hal ini Nabi bersabda,

يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ .

(رواه البخاري عن ابن عباس)

“Diharamkan karena sesusuan sama seperti yang diharamkan karena nasab.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas)[6]

Hadits ini bertentangan dengan firman Allah berikut,

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ .

“Dan ibu-ibu yang menyusui kalian dan saudara-saudara perempuan kalian yang sesusuan.” (An-Nisaa`: 23)

Dalam ayat ini, yang diharamkan hanyalah ibu yang menyusui dan saudara-saudara perempuan yang sesusuan. Tetapi, dalam hadits di atas, maka suami si ibu yang menyusui pun menjadi tidak boleh menikahi anak perempuan yang disusui oleh istrinya.

Begitu pula dengan anak-anak dari saudara-saudara sesusuan, itu pun juga tidak boleh dinikahi. Dengan demikian, hadits ini bertabrakan dengan Al-Qur`an!

4. Hadits tentang hukuman rajam bagi orang berzina yang telah menikah.

Ini adalah hadits mutawatir.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ اغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا قَالَ فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَأَمَرَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَتْ . (متفق عليه عن أبي هريرة وزيد بن خالد الجهني)

“Demi yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sungguh akan aku putuskan urusan kalian berdua berdasarkan Kitab Allah. Budak perempuan dan  kambing harus kamu kembalikan. Anakmu harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Pergilah, hai Unais, temui istri orang ini. Jika dia mengaku, maka rajamlah dia.” Maka, Unais pun pergi menemui perempuan tersebut, dan dia mengaku. Lalu, Nabi memerintahkan agar perempuan itu dirajam, dan dirajamlah dia. (Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al-Juhani)[7]

Hadits ini bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nur tentang ketentuan hukuman bagi pezina,

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ .

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina; maka cambuklah masing-masing seratus kali cambukan. Dan janganlah rasa kasihan kepada keduanya mencegahmu untuk menegakkan agama Allah.” (An-Nur: 2)

Dalam ayat ini, jelas-jelas disebutkan bahwa hukuman bagi orang yang berzina adalah seratus kali cambukan. Sama sekali tidak ada kata-kata yang menyebutkan bahwa orang berzina yang telah menikah hukumannya adalah rajam. Jadi, hadits di atas bertentangan Al-Qur`an!

 

Bantahan

Demikianlah apa yang dikatakan orang-orang inkar Sunnah tentang Sunnah Nabi. Alasan dan sarana apa pun yang kira-kira bisa dipakai untuk menyerang Sunnah akan mereka lakukan. Mereka menutup mata, tidak mau tahu, dan menyelewengkan makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ .

“Dan Kami menurunkan Al-Qur`an kepadamu untuk menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)

Bagaimanapun juga, dengan segala keterbatasannya, manusia tidak mungkin mampu menerapkan ajaran agama ini tanpa bimbingan dan petunjuk dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Termasuk, dalam memahami Al-Qur`an pun manusia membutuhkan penjelasan dan contoh konkrit dari utusan-Nya, apa maksud ayat ini dan bagaimana aplikasinya.

Semudah-mudahnya Al-Qur`an dipahami, tetap saja masih banyak ayat-ayat yang butuh keterangan lebih lanjut dan perincian yang lebih detil. Allah tidak mungkin meninggalkan begitu saja kepada manusia untuk menerjemahkan sesuka hatinya dalam berinteraksi dengan Al-Qur`an. Ibarat undang-undang, Al-Qur`an perlu juklak (petunjuk pelaksanaan) dalam penerapannya yang tak lain adalah Sunnah Rasul-Nya.

Hadits-hadits tentang shalat lima waktu, kadar zakat dua setengah persen (rubu’ul ‘usyr), perempuan yang haram dinikahi karena sesusuan, rajam, dan semua hadits lain yang dituduh bertabrakan dengan Al-Qur`an, tidak lain adalah penjelasan Al-Qur`an itu sendiri. Dan, Sunnah Rasul adalah juga wahyu Allah yang menjelaskan wahyu Allah dalam Al-Qur`an. Selama suatu hadits terbukti keshahihannya berasal dari Nabi, maka itu adalah juga hukum Allah yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan.

 

Berkaitan dengan posisi Sunnah di hadapan Al-Qur`an, DR. Salim Ali Al-Bahnasawi menyebutkan bahwa ada tiga hal dalam hal ini yang mesti diperhatikan, yaitu:[8]

  1. Terkadang Sunnah datang sebagai penegas apa yang terdapat dalam Al-Qur`an. Inilah yang biasa disebut sebagai Sunnah muakkadah. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, bahwa Nabi bersabda, “Berbuat baiklah kalian kepada istri-istri kalian.”[9] Hadits ini menegaskan firman Allah, “Dan Perlakukanlah mereka dengan baik.”[10]
  2. Terkadang Sunnah berfungsi sebagai penjelas Al-Qur`an. Inilah dia hadits-hadits yang memerinci berbagai hukum dalam Al-Qur`an yang masih bersifat global. Contohnya adalah hadits-hadits dalam masalah shalat, zakat, puasa, haji, muamalah, hudud, dan sebagainya. Sunnahlah yang menjelaskan –misalnya– berapa kali shalat dalam sehari, jumlah rakaat, waktu-waktunya, tatacaranya, dan seterusnya.
  3. Terkadang Sunnah pun berdiri sendiri dengan suatu hukum yang didiamkan atau tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Contohnya adalah hukuman rajam bagi orang berzina yang sudah menikah, dimana Al-Qur`an hanya menyebutkan hukuman seratus kali dera bagi pezina yang belum menikah.

 

Dalam A’lam Al-Muwaqqi’in, Imam Ibnul Qayyim berkata, “Adapun Sunnah, ia memiliki tiga peran pokok di sisi Al-Qur`an.

1.  membenarkan Al-Qur`an dari segala segi. Dengan demikian, Al-Qur`an dan Sunnah sama-sama berada di atas satu koridor hukum yang saling menguatkan ketika dijadikan sebagai dalil dalam berbagai permasalahan.

2. Sunnah menjadi penjelas sekaligus menafsirkan apa yang dimaksud oleh Al-Qur`an.

3. Sunnah dalam posisi mewajibkan sesuatu dimana Al-Qur`an mendiamkan kewajibannya, dan mengharamkan sesuatu yang mana dalam Al-Qur`an belum disebutkan keharamannya.”[11]

 

 

VII. Hadits Merupakan Saduran dari Umat Lain

Yang mengherankan, orang-orang inkar Sunnah ini pandai sekali dalam masalah ajaran-ajaran umat sebelum kita yang termaktub dalam Bibel.[12] Mereka lebih menguasai Bibel daripada Sunnah! Dalam hal ini, mereka punya satu tujuan busuk yang nyata; membuktikan bahwa Sunnah Nabi yang terdapat dalam kitab-kitab hadits adalah saduran dari umat lain. Atau katakanlah, saduran dari Bibel (Al Kitab).

 

Sejumlah contoh kasus yang sering mereka kemukakan, di antaranya yaitu:

  1. Kerudung Penutup Kepala[13]

Mereka mengatakan, bahwa kerudung kepala bagi perempuan bukanlah ajaran Nabi karena tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Yang terdapat dalam Al-Qur`an adalah perintah untuk menutup dada, bukan menutup kepala. Sebab, kepercayaan menutup kepala ini adalah saduran dari kitab Bibel yang diambil oleh para ulama Islam masa lalu dan dikatakan sebagai hadits Nabi.

Ajaran memakai kerudung kepala ini terdapat dalam kitab Bibel, 1 Korintus, Bab 11:

[1 Kor 11:5] “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya.”

[1 Kor 11:6] “Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahawa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.”

[1 Kor 11:10] “Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat.”

[1 Kor 11:13] “Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?”

Jadi, perintah untuk perempuan supaya mereka menutupi kepalanya adalah dari Bibel. Kepercayaan ini telah meresap ke dalam kepercayaan Islam dan sekarang menjadi perkara yang wajib diamalkan. Dan malangnya, orang-orang Kristen sendiri tidak mengikuti ajaran Bibel, kaum perempuannya tidak menutup kepala. Justru oran Islamlah yang mengamalkan ajaran Bibel tersebut!

 

2. Khitan[14]

Menurut orang-orang inkar Sunnah yang mengaku sebagai ahlul Qur`an atau Qur`aniyyun, ajaran khitan adalah saduran dari kepercayaan umat lain. Sebab, dalam Al-Qur`an sama sekali tidak ada perintah Allah untuk berkhitan. Akan tetapi, justru ajaran khitan ini terdapat dalam Bibel. Perjanjian Penyunatan di dalam Bibel menyatakan:

[Kej 17:14] “Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku.”

[Kej 17:24] “Abraham berumur sembilan puluh sembilan tahun ketika dikerat kulit khatannya.”

Menurut orang inkar Sunnah, dari Perjanjian Penyunatan inilah para ulama kaum muslimin saat itu mengadopsi kepercayaan khitan ini dan memasukkannya ke dalam ajaran Islam, untuk kemudian mengatakannya sebagai hadits Nabi. Padahal, Nabi sama sekali tidak mengajarkan masalah khitan dan tidak memerintahkannya. Sebab, dalam Al-Qur`an tidak ada ayat tentang khitan.

 

3. Memelihara Jenggot

Orang-orang inkar Sunnah mengatakan, bahwa memelihara janggut bagi laki-laki bukanlah ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur`an tidak pernah disinggung masalah. Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali tidak pernah menyuruh kaum-kaum laki umat Islam untuk memelihara atau memanjangkan jenggot.

Ini bukanlah ajaran Al-Qur`an dan bukan pula ajaran Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dalam kitab Bibel disebutkan dengan jelas:

[Imamat 1:27] “Janganlah kamu mencukur tepi rambut kepalamu berkeliling dan janganlah engkau merusakkan tepi janggutmu.”

[Imamat 21:5] “Janganlah mereka menggundul sebagian kepalanya, dan janganlah mereka mencukur tepi janggutnya, dan janganlah mereka menggoresi kulit tubuhnya.”

[2 Samuel 10:5] “Hal ini diberitahukan kepada Daud, lalu disuruhnya orang menemui mereka, sebab orang-orang itu sangat dipermalukan. Raja berkata; Tinggallah di Yerikho sampai janggutmu itu tumbuh, kemudian datanglah kembali.”

 

4. Kata “Amin”

Orang-orang inkar Sunnah mengatakan bahwa kata “amin” yang selalu kita baca ketika shalat dan berdoa adalah saduran dari Bibel. Dalam Al-Qur`an sama sekali tidak ada kata “amin,” termasuk dalam surat Al-Fatihah, tidak ada kata amin di sana.

Dan, Allah tidak pernah memerintahkan umat Islam untuk membacanya. Namun, justru kata “amin” ini bisa kita dapatkan dalam Bibel. Tak kurang dari 50 kali kata “amin” ini diulang dalam Bibel, yaitu di:

Num 5:22.27 Num 5:22.28 Deut 27:15.40 Deut 27:16.17 Deut 27:17.15 Deut 27:18.18 Deut 27:19.23 Deut 27:20.25 Deut 27:21.17 Deut 27:22.27 Deut 27:23.17 Deut 27:24.16 Deut 27:25.19 Deut 27:26.22 1Kgs 1:36.10 1Chr 16:36.18 Neh 5:13.42 Neh 8:6.14 Neh 8:6.15 Pss 41:13.13 Pss 41:13.15 Pss 72:19.15 Pss 72:19.17 Pss 89:52.7 Pss 89:52.9 Pss 106:48.19 Jer 28:6.6 Mark 16:20.24 Rom 1:25.26 Rom 9:5.26 Rom 11:36.19 Rom 15:33.9 Rom 16:27.13 1Cor 14:16.20 1Cor 16:24.10 2Cor 1:20.18 Gal 1:5.10 Gal 6:18.13 Eph 3:21.19 Phil 4:20.12 1Tim 1:17.19 1Tim 6:16.26 2Tim 4:18.25 Heb 13:21.33 Heb 13:25.7 1Pet 4:11.46 1Pet 5:11.10 2Pet 3:18.28 Jud 1:25.26 Rev 1:6.22.[15]

 

Bantahan

Ada-ada saja tuduhan yang dilancarkan oleh kelompok sesat inkar Sunnah ini. Mereka selalu saja mencari dan mencari alasan pun apa yang bisa dipakai untuk menyerang Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Apa mereka tidak membaca fakta sejarah[16] bahwa Yahudi dan Kristen berasal dari sumber yang sama dengan agama Islam? Adalah wajar jika ada ajaran-ajaran yang sama antara Islam dan umat-umat lain yang datang sebelumnya.

Akan tetapi, hal ini sama sekali bukan berarti hadits-hadits itu merupakan saduran dari umat lain. Sebab, setiap hadits pasti ada sanadnya. Terbaca dengan jelas di sana, bahwa si perawi hadits menerima hadits dari si fulan dari si anu dan seterusnya.

Sekiranya rentetan pembawa berita (baca; sanad) ini terus bersambung hingga ke Nabi tanpa terputus, dan semua pembawa berita ini diakui kredilitasnya, maka itu adalah hadits shahih yang harus diterima. Adapun jika sanad hadits tersebut tidak bersambung sampai ke Nabi atau di antara orang-orang yang meriwayatkannya terdapat ada orang yang kurang kredibel,[17] maka otomatis haditsnya akan ditolak.

Lalu, kapan dan di mana Imam Al-Bukhari[18] (dan imam-imam hadits yang lain) mengadopsi hadits-haditsnya dari Bibel? Dan, kepada siapa Imam Al-Bukhari belajar Bibel? Kemudian, apakah kaum muslimin pada waktu itu tidak ada satu pun yang mengetahui bahwa hadits-hadits yang ditulis oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya itu adalah saduran dari Bibel?

Apakah hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari (dan kitab-kitab hadits yang lain) semuanya adalah saduran dari Bibel ataukah hanya sebagiannya? Kalau semua hadits dalam Shahih Al-Bukhari adalah saduran dari Bibel; apakah Bibel itu sendiri lebih tebal dari Shahih al-Bukhari?[19]

Kalau hanya sebagian saja hadits-hadits Shahih Al-Bukhari yang disadur dari Bibel; lantas yang sebagiannya lagi disadur dari mana? Terus, apakah semua yang ada dalam Bibel itu dijiplak Imam Al-Bukhari ataukah hanya sebagiannya saja? Kalau semua yang ada dalam Bibel dijiplak oleh Imam Al-Bukhari; kenapa isi Shahih Al-Bukhari berbeda dengan Bibel? Dan, kalau hanya sebagiannya saja yang dijiplak; kenapa kitab Al-Bukhari lebih tebal dari Bibel?

Maaf, di sini kami tidak hendak membahas (sanad) hadits-hadits yang dituduh sebagai saduran dari umat lain, atau dari Bibel. Sebab, hal itu tidak ada gunanya bagi mereka (inkar Sunnah). Apalagi, mereka paling hanya sanggup menyebutkan sedikit saja contoh hadits-hadits yang dianggap sebagai saduran dari Bibel.

Yang jelas, apa pun yang terdapat dalam hadits dan terbukti keshahihannya berasal dari Nabi, maka itu adalah Sunnah Nabi dan itulah ajaran Islam. Tidak masalah jika harus sama dengan ajaran umat lain, karena Islam tidak pernah menafikan kebaikan apa pun yang berasal dari umat lain atau terdapat dalam ajaran agama lain. Bagaimanapun juga, nilai-nilai kebaikan adalah sesuatu yang bersifat universal.

Apakah orang-orang yang mengaku sebagai “Qur`aniyyun” itu menutup mata bahwa ajaran-ajaran akhlak yang terdapat dalam Al-Qur`an juga terdapat dalam kitab suci agama-agama lain?!

Kita tahu, bahwa ajaran untuk berbuat baik kepada sesama manusia, tolong menolong dalam kebaikan, larangan membunuh, larangan mencuri, larangan berzina, dan ajaran-ajaran kebaikan lain juga terdapat dalam kitab Weda, Tripitaka, dan Bibel. Namun kita semua sepakat, bahwa semua ajaran kebaikan tersebut yang terdapat dalam Islam bukanlah saduran dari ajaran agama lain.


[1] Ada perbedaan perbedaan pendapat dalam masalah ada tidaknya atau boleh tidaknya Sunnah menasakh Al-Qur`an ini. Contoh yang peling sering mengemuka, adalah dalam masalah waris, dimana Nabi mengatakan “Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Abu Umamah Al-Bahili, dan Ahmad dan An-Nasa`i dari Amru bin Kharijah). Hadits ini menasakh ayat 180 surat Al-Baqarah. Lihat; An-Nasikh wa Al-Mansukh fi Al-Ahadits/Abu Hamid Ar-Razi/hlm 30/terbitan Al-Faruq Al-Haditsah, Kairo/Cetakan pertama/2002 M – 1423 H.

[2] Hadits tentang kewajiban shalat lima waktu ini sangat banyak sekali dan dengan berbagai perbedaan redaksi dikarenakan sering diucapkan Nabi dalam banyak kesempatan dan kepada orang yang berbeda-beda. Dan, ma’lum minad-din bidh-dharurah bahwa hadits dalam masalah ini adalah mutawatir. Sekadar contoh, cukup saya sebutkan satu saja.

[3] Mereka tetap menerjemahkannya dengan shalat fajar, bukan shalat subuh. Karena shalat subuh –menurut mereka– tidak ada dalam Al-Qur`an.

[4] Semestinya, jika mereka konsisten tidak menafsirkan Al-Qur`an kecuali dengan Al-Qur`an, mereka harus bisa menjelaskan apa arti kata “qur`an” dalam “qur`an al-fajr” dan apa arti kata “masyhuda” dalam ayat ini.

[5] Sunan Ibni Majah/Kitab Az-Zakat/Bab Zakat Al-Waraq wa Adz-Dzahab/hadits nomor 1780.

[6] Shahih Al-Bukhari/Kitab Asy-Syahadat/Bab Asy-Syahadah ‘Ala Al-Ansab wa Ar-Radha’/hadits nmor 2451. Hadits ini juga diriwayatkan oleh beberapa imam lain dari Aisyah Radhiyallahu Anha.

[7] Shahih Al-Bukhari/Kitab Asy-Syuruth/Bab Asy-Syuruth Allati La Tahillu fi Al-Hudud/hadits nomor 2523, dan Shahih Muslim/Kitab Al-Hudud/Bab Man I’tarafa ‘Ala Nafsihi bi Az-Zina/hadits nomor 3120. Hadits tentang rajam ini juga diriwayatkan oleh sejumlah imam lain dari banyak sahabat.

[8] As-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha/hlm 41.

[9] HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Kitab An-Nikah/Bab Al-Wushatu bi An-Nisaa`/4787.

[10] An-Nisaa`: 19.

[11] A’lam (I’lam) Al-Muwaqqi’in/Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah/jilid 1/juz 2/hlm 271/Penerbit Maktabah Al-Iman, Manshurah – Mesir/Cetakan Pertama 1999 M – 1419 H.

[12] Dalam kamus-kamus Indonesia dan Inggris, ada yang mengartikan Bibel sebagai Injil (saja), dan ada juga yang mengartikannya sebagai gabungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

[13] Lihat; Ajaran Islam Daripada Bible/ http://www.e-bacaan.com/artikel_IslamBible.htm.

[14] Ibid.

[16] Dalam hal ini kita ‘dipaksa’ untuk berbicara dengan logika sejarah. Karena orang inkar Sunnah tidak mau tahu terhadap Sunnah Nabi dan pendapat para ulama.

[17] Entah karena lemah hafalannya, atau tercela akhlaknya (suka berbohong), atau kurang bagus agamanya, sebagaimana yang terdapat dalam ilmu al-jarh wat-ta’dil.

[18] Imam Al-Bukhari dan Abu Hurairah adalah dua sosok yang paling dibenci oleh orang-orang inkar Sunnah. Dua nama inilah yang selalu mereka sebut-sebut dan jelek-jelekkan ketika menyerang Sunnah. Dalam hal ini, mereka sama saja dengan Syiah.

[19] Ini baru perbandingan dengan satu kitab hadits saja, belum kitab-kitab hadits yang lain. Biasanya, Al Kitab (Bibel) hanya terdiri dari satu jilid saja. Sedangkan Shahih Al-Bukhari, terdiri dari dua sampai lima jilid. Tergantung cetakan dan terbitannya.

VIII.  Hadits Membuat Umat Islam Terpecah-belah


Di antara alasan yang sering dilontarkan kenapa mereka menolak Sunnah Nabi adalah karena hadits dianggap membuat umat Islam terpecah belah. Banyaknya hadits yang berbeda satu sama lain, membuat kaum muslimin pecah menjadi sejumlah golongan. Ada Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murji`ah, Qadariyah, Jabariyah, dan lain-lain. Belum lagi pecahnya Ahlu Sunnah dengan adanya berbagai madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dan Zhahiriyah. Itu pun belum termasuk aliran tasawuf dengan berbagai tarekatnya.

Tuduhan orang inkar Sunnah dalam masalah inilah yang membuat mereka selalu mendengung-dengungkan istilah, “Satu Kitab, Satu Tuhan, dan Satu Umat!”[1] Mereka mengatakan, bahwa dengan hanya berpegang teguh pada Al-Qur`an sajalah umat Islam bisa bersatu dan tidak berpecah belah.

 

Bantahan

Sebelum menjawab lebih lanjut tuduhan orang-orang inkar Sunnah ini, kami ingin mengatakan kepada mereka, bahwa bisa saja kaum muslimin berbeda pendapat dalam mengapresiasi Sunnah Nabi dalam masalah-masalah tertentu. Akan tetapi, para ulama kaum muslimin sama sekali tidak pernah berbeda pendapat bahwa orang yang menolak Sunnah Nabi yang terbukti keshahihannya –secara sanad dan matan– adalah kafir, murtad, dan telah keluar dari agama Islam![2]

Menyikapi perbedaan dan perpecahan bahkan peperangan yang terjadi sesama kaum muslimin; Sunnah sama sekali tidak bisa disalahkan. Bagaimana kita mau menyalahkan Sunnah sementara mereka yang punya masalah saja tidak pernah menyalahkan Sunnah?

Apa orang-orang inkar Sunnah ini lebih mengetahui apa yang terjadi di antara kaum muslimin yang bertikai daripada mereka sendiri yang mengalami? Apa mereka (inkar Sunnah) memang sengaja menjadikan Sunnah sebagai kambing hitam atas perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam?

Berbagai perselisihan dan pertikaian yang terekam dalam sejarah, baik pada masa sahabat ataupun sesudahnya, pemicunya tidak lepas dari faktor politis, atau kesalahpahaman, kekuasaan, fanatisme kesukuan, fanatisme golongan, dan perbedaan dalam menyikapi suatu masalah.

Pertikaian yang terjadi antara Ali dan Aisyah dalam Perang Jamal, antara Ali dan Muawiyah dalam Perang Shiffin, antara Muawiyah dan Hujr bin Adi, antara Husain bin Ali dan Yazid bin Muawiyah, antara Marwan bin Al-Hakam (dan anaknya, Abdul Malik bin Marwan) versus Abdullah bin Az-Zubair, dan seterusnya; semuanya bukan dikarenakan Sunnah.

Tidak ada satu pun yang menyebutkan bahwa pertikaian mereka disebabkan Sunnah. Bahkan, sesungguhnya mereka tidak berpecah belah. Mereka tetap dalam satu kesatuan sebagai bagian dari umat Islam. Sebab, mereka tidak berselisih paham dalam masalah Al-Qur`an dan Sunnah Nabi.

Munculnya Khawarij, Syiah, dan Muktazilah pada saat itu pun bukan dikarenakan Sunnah. Khawarij muncul karena kekecewaan mereka atas peristiwa tahkim antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Dikarenakan kebodohan dan hawa nafsunya, Khawarij pun menyatakan diri berlepas tangan dari semua orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim.

Bahkan, mereka mengafirkan semua pihak yang terlibat. Padahal, banyak sahabat utama yang terlibat dalam peristiwa tahkim tersebut. Sementara itu, tidak ada satu orang sahabat pun yang ikut dalam kelompok Khawarij. Tidak heran, jika kemudian Khawarij ini menjadi golongan yang menolak Sunnah Nabi. Bagaimana tidak, jika para sahabat mereka kafirkan semuanya, lalu melalui siapa mereka mendapatkan Sunnah Nabi?

Dari mana mereka mendapatkan hadits-hadits Nabi? Justru, lebih tepat jika dikatakan bahwa mereka yang menolak Sunnah Nabilah (inkar Sunnah) sesungguhnya yang memecah belah umat Islam ini.

Demikian pula halnya dengan Syiah dan Muktazilah. Kemunculan dua kelompok ini pun bukan dikarenakan Sunnah. Bahkan, sebagaimana kami singgung dalam pembahasan awal buku ini tentang akar sejarah inkar Sunnah; bahwa Syiah dan Muktazilah (termasuk Khawarij) adalah tiga kelompok besar yang mengingkari Sunnah.

Tiga kelompok ini –di samping orientalis– mempunyai andil signifikan dalam kemunculan dan perkembangan inkar Sunnah babak berikutnya. Sebab, secara ide dasar, kelompok-kelompok ini mempunyai kesamaan dalam hal penolakannya terhadap Sunnah.

Adapun apabila yang dimaksud oleh orang-orang inkar Sunnah adalah adanya berbagai madzhab fikih dalam Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka yang  harus dimengerti adalah,

a. bahwa para imam madzhab sama sekali tidak pernah menolak Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.

b. para imam madzhab tidak pernah menolak suatu hadits yang terbukti keshahihannya bersumber dari Nabi.

c. dan ini yang terpenting, bahwasanya para imam madzhab (dan para pengikutnya) hanya berbeda pendapat dalam masalah-masalah yang bersifat furu’iyah (cabang) saja, bukan dalam masalah-masalah yang prinsipil.

 

DR. Muhammad Abul Fath Al-Biyanuni menyebutkan empat sebab –secara global– terjadinya ikhtilaf (perbedaan) pendapat ini, yaitu:[3]

  1. Perbedaan dalam masalah menentukan kepastian suatu hadits apakah benar-benar bersambung sampai ke Nabi atau tidak. Sebab, terkadang ada hadits yang sampai kepada seorang imam, tetapi hadits tersebut tidak sampai kepada imam yang lain. Dan, hal ini berkaitan dengan perbedaan masing-masing imam dalam menentukan dipercaya tidaknya atau lemah tidaknya salah seorang perawi yang terdapat dalam jalur sanad.
  2. Perbedaan dalam memahami nash. Karena terkadang suatu nash atau hadits mengandung kata-kata tertentu yang memiliki dua makna atau lebih. Atau, terkadang di sana terdapat kata-kata tertentu yang maknanya masih global dan belum terperinci. Atau, bisa juga berpulang kepada perbedaan kemampuan dan bidang keahlian masing-masing imam.
  3. Perbedaan dalam cara menggabungkan dan menguatkan antara sejumlah hadits yang berbeda dalam satu masalah. Sekalipun suatu hadits sudah diketahui keshahihannya dan jelas maknanya, namun jika hadits tersebut bertentangan dengan hadits lain yang juga shahih dan jelas maknanya, maka diperlukan suatu ijtihad untuk menentukan mana hadits yang harus didahulukan. Di sinilah terkadang terjadi perbedaan persepsi di antara para imam.
  4. Perbedaan dalam masalah kaedah ushul fikih yang dipergunakan dalam beristimbat. Sebab, masing-masing imam berbeda dalam masalah ini. (1) Ada yang menjadikan perkataan atau fatwa sahabat sebagai hujjah. (2)  Ada yang lebih mengutamakan praktik yang dilakukan penduduk Madinah. (3) Ada yang lebih mendahulukan pendapat daripada hadits dhaif. (4) Dan ada pula yang memperhatikan perbuatan si perawi; apakah sama dengan hadits yang diriwayatkannya atau berbeda.

Jadi, adanya perbedaan tersebut adalah sesuatu yang memang terjadi dikarenakan suatu sebab yang jelas. Akan tetapi, perbedaan tersebut bukanlah perpecahan dus bukan pula dikarenakan Sunnah.

Hanya orang yang mengingkari Sunnah saja yang berani mengambinghitamkan Sunnah.

Adapun pengikut Sunnah, maka dia tidak akan pernah menyalahkan Sunnah sebagai penyebabnya.

Bagaimanapun juga, perbedaan yang terjadi antarsesama manusia adalah sunnatullah. Perbedaan adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. DR. Yasir Burhami berkata, “Dalil-dalil qath’i dari Al-Qur`an dan Sunnah menegaskan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang pasti terjadi antarsesama anak manusia. Dan, itu sudah menjadi ketentuan Allah atas mereka.

Allah Ta’ala berfirman,


Dan tidaklah manusia itu dulunya melainkan hanya satu umat saja, tetapi kemudian mereka berselisih. Dan, kalau saja bukan karena kalimat Tuhanmu yang telah lalu, niscaya Dia akan memutuskan apa yang diperselisihkan di antara mereka.’[4]

Jadi, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalimat-Nya yang telah lalu dan keputusan-Nya yang pertama kali ketika menciptakan makhluk, adalah tidak memutuskan (siapa benar siapa salah dalam) perbedaan yang terjadi di antara mereka saat itu juga.”[5]

Kenapa orang-orang inkar Sunnah mesti heran dengan perbedaan yang terjadi di antara kaum muslimin? Bukankah mereka mengaku ahlul Qur`an? Apakah mereka tidak menemukan dalam Al-Qur`an ayat-ayat tentang perbedaan pendapat ini?[6] Nabi Musa saja pernah berselisih dengan Nabi Harun.[7] Nabi Musa juga pernah salah paham dengan Nabi Khidhr.[8] Dan, Nabi Dawud juga pernah berbeda pendapat dengan anaknya, Nabi Sulaiman.[9]

Lagi pula, Sunnah sendiri menyuruh umat Islam untuk selalu bersatu dan mewanti-wanti agar jangan berpecah-belah. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ . (رواه أحمد ومسلم ومالك عن أبي هريرة)

“Sesungguhnya Allah menyukai tiga hal pada kalian dan tidak menyukai tiga hal. Dia suka jika kalian menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun (1). Hendaknya kalian berpegang teguh pada tali Allah semuanya (2) dan janganlah kalian  berpecah-belah. Dan, Dia tidak menyukai pada kalian; suka bergosip, banyak bertanya, dan boros.” (HR. Ahmad, Muslim, dan Malik, dari Abu Hurairah)[10]

Dalam hadits lain disebutkan,

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً . (متفق عليه عن ابن عباس)

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak disukai pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar. Sebab, orang yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (Muttafaq Alaih dari Ibnu Abbas)[11]

Dua hadits ini sekadar contoh. Betapa masih banyak hadits lain lagi yang memerintahkan kaum muslimin agar bersatu dan melarang berpecah-belah. Jika demikian halnya, bagaimana mungkin Sunnah dituduh sebagai penyebab terpecah-belahnya umat?

 

IX.  Hadits Membuat Umat Islam Mundur dan Terbelakang

Menurut orang-orang inkar Sunnah, sesungguhnya hadits-hadits tentang mukjizat Nabi, takdir, adzab kubur, pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir, kisah-kisah yang bagaikan dongeng, cerita-cerita tentang akhir zaman, syafaat Nabi di akhirat, dan hal-hal ghaib lainnya, membuat kaum muslimin mundur dan terbelakang sehingga tidak bisa maju berkembang bersaing dengan umat-umat lain.

 

Bantahan

Bisa saja orang-orang inkar Sunnah mencari-cari alasan ini untuk menolak Sunnah, karena pada dasarnya mereka memang mengingkari Sunnah. Namun, setidaknya ada tiga hal yang mesti dipaparkan di sini untuk mematahkan tuduhan mereka. Yang pertama, tentang hadits-hadits yang dianggap membuat umat Islam mundur dan terbelakang. Kedua, penjelasan tentang apa sesungguhnya sebab-sebab yang membuat umat Islam mundur. Dan ketiga, bukti bahwa Sunnah justru mendorong kaum muslimin untuk maju, selalu menuntut ilmu, kritis, dan senantiasa cerdas dalam menganalisa suatu masalah. Dengan demikian akan terbukti bahwa sesungguhnya Sunnah sama sekali bukanlah penyebab mundurnya umat Islam.

Adapun tentang hadits-hadits dalam berbagai hal ghaib, mukjizat Nabi, dan yang sulit diterima oleh akal sebagaimana disebutkan di atas, maka sebetulnya Al-Qur`an pun banyak menyinggung masalah ini. Tentang mukjizat Nabi, misalnya, Al-Qur`an menyebutkan sebagiannya.

Di antaranya yaitu:[12]

1. Ketika Nabi dikepung para pemuda dari berbagai suku di Makkah pada malam hijrah, namun beliau bisa lolos karena Allah membutakan mata mereka.[13]

2. Isra`nya Nabi dari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam waktu semalam.[14]

3. Terbelahnya bulan ketika penduduk Makkah meminta Nabi untuk memperlihatkan mukjizatnya kepada mereka.[15]

4. Selamatnya Nabi bersama Abu Bakar di dalam Gua Tsaur ketika hijrah padahal orang-orang kafir yang mengejar mereka sudah berada di mulut gua tetapi tidak melihat.[16]

5. Turunnya tiga ribu malaikat pada Perang Badar.[17]

Dan lain-lain.

Demikian pula dalam masalah takdir, adzab kubur, syafaat Nabi, dan seterusnya. Sesungguhnya Al-Qur`an sudah menyinggungnya. Baik itu secara detil ataupun global. Jadi, tidak mengherankan sekiranya banyak hadits-hadits Nabi dalam masalah ini, mengingat posisi Sunnah yang memang mempunyai otoritas untuk itu.[18]

Kalaupun kemudian ada sebagian kaum muslimin yang keliru dalam memahami dan mengaplikasikan hadits-hadits Nabi dalam masalah ini (masalah takdir, misalnya), sehingga membuatnya mundur dan terbelakang, maka itu berpulang kepada orang yang bersangkutan. Sama sekali bukan dikarenakan Sunnahnya.

Apakah hanya karena hadits-hadits itu sulit diterima oleh akal sehat lalu dijadikan kambing hitam? Memangnya, apa semua urusan agama ini harus bisa dicerna oleh akal? Sungguh, Iblis-lah makhluk yang pertama kali mencoba mengakali agama ini. Dia mencoba membandingkan bahwa dirinya yang terbuat dari api lebih baik daripada Nabi Adam Alaihissalam.[19]

Umar bin Al-Khathab pernah berkata kepada hajar aswad, “Sesungguhnya aku ini tahu kalau kau ini adalah batu yang tidak bisa memberi manfaat ataupun mudharat. Demi Allah, kalau bukan karena aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menciummu, aku pun tak akan menciummu.”[20] Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Sekiranya agama ini didasarkan rasionalitas semata, niscaya bagian bawah khuf[21] lebih layak untuk diusap daripada atasnya.”[22]

DR. Yusuf Al-Qaradhawi berkata,

“Sunnah adalah sumber syariat kedua setelah Al-Qur`an untuk mengetahui perkara-perkara ghaib. Hal ini tidak termasuk dalam cakupan ilmu-ilmu yang bisa dianalisa melalui eksperimen, atau kontemplasi, atau melalui penelitian ilmiah. Sebab, sumber masalah ini adalah wahyu Ilahi, yang dikhususkan Allah untuk para rasul-Nya. Allah mengaruniakan pengetahuan masalah ghaib ini kepada mereka sebagaimana yang Dia kehendaki. Terkadang ada sebagian di antara perkara ghaib ini yang Dia tutupi dari seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak ada siapa pun yang mengetahuinya, baik malaikat ataupun nabi,”[23]

 

Selanjutnya, masalah kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dibandingkan umat-umat lain pada masa kini, juga bukan disebabkan Sunnah.

Menurut DR. Abdul Wahab Ad-Dailami,[24] ada delapan faktor yang menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam, yaitu :

  1. Banyaknya orang Arab yang murtad sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
  2. Munculnya fanatisme kelompok, suku, dan golongan, yang memecah kesatuan umat.
  3. Penyerbuan dan penghancuran yang dilakukan Pasukan Tartar atas kaum muslimin pada masa Bani Abbasiyah.
  4. Pendudukan dan penyerangan Tentara Salib dan Eropa.
  5. Dibuatnya undang-undang konvensional buatan manusia, yang wajib dipatuhi warga negara setempat.
  6. Perang peradaban dan pemikiran yang gencar dilakukan oleh Barat dan orientalisme.
  7. Adanya pemerintahan kaum muslimin yang otoriter. Dan,
  8. Lenyapnya Khilafah Islamiyah.

 

Jadi, keberadaan Sunnah sebagai sumber hukum utama setelah Al-Qur`an Al-Karim sama sekali tidak menyebabkan kemunduran dan keterbelakangan umat Islam.

Terakhir, perlu dibuktikan di sini, bahwa Sunnah justru sangat mendorong umatnya untuk senantiasa maju dan terus berkembang. Sekadar contoh, bagaimana mungkin Sunnah membuat umat Islam mundur, sementara Sunnah mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah wajib?

Dalam hadits disebutkan,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ .

(رواه ابن ماجه عن أنس بن مالك)

Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah dari Anas bin Malik)[25]

Selain itu, dalam Sunnah juga terdapat hadits-hadits tentang pemeliharaan lingkungan dan kebersihan, perhatian terhadap masalah kesehatan dan kedokteran, ilmu kejiwaan, pendidikan ekonomi, pendidikan politik, strategi dan etika perang, peradaban, ajaran mendidik keluarga dengan baik, hubungan antarsesama manusia, dan lain-lain. Jadi, bagaimana mungkin Sunnah membuat kaum muslimin mundur dan terbelakang?

 


[2] Lebih lanjut tentang sikap ulama terhadap kelompok inkar Sunnah ini akan dibahas dalam bab tersendiri.

[3] Dirasat fi Al-Ikhtilafat Al-‘Ilmiyyah/DR. Muhammad Abul Fath Al-Biyanuni/hlm 38/Penerbit Darussalam – Kairo/Cetakan Pertama/1998 M – 1418 H.

[4] Yunus: 19.

[5] Fiqh Al-Khilaf Baina Al-Muslimin/DR. Yasir Burhami/hlm 6/Penerbit Dar Al-Aqidah li At-Turats, Iskandariyah/Cetakan Perama/1996 M – 1416 H.

[6] Lihat misalnya; Hud: 118-119, Asy-Syura: 14, dan Fushshilat: 45.

[7] Thaha: 92-94.

[8] Lihat kisahnya di surat Al-Kahfi: 60-82.

[9] Lihat tafsir surat Al-Anbiya`: 78-79.

[10] Lihat; Musnad Ahmad/Kitab Baqi Musnad Al-Muktsirin/bab Baqi Al-Musnad As-Sabiq/8444, Shahih Muslim/Kitab Al-Aqdhiyah/Bab An-Nahy ‘An Katsrati Al-Masa`il/3236, dan Al-Muwaththa`/Kitab Al-Jami’/Bab Ma Ja`a ‘An Idha`ati Al-Mal wa Dzi Al-Wajhain/1572.

[11] Shahih Al-Bukhari/Kitab Al-Fitan/Bab Qaul An-Nabiy Satarawna Ba’di Umuran Tunkirunaha/6531, dan Shahih Muslim/Kitab Al-Imarah/Bab Mulazamati Jama’ati Al-Muslimin ‘Inda Zhuhur Al-Fitan/3438.

[12] Lihat Mu’jizat Ar-Rasul Allati Zhaharat fi Zamanina/DR. Abdul Muhdi Abdul Qadir/hlm 14-22/Penerbit Maktabah Al-Iman, Kairo/Cetakan Pertama/2001 M – 1422 H.

[13] Al-Anfal: 30.

[14] Al-Israa`: 1. Di sini hanya kami sebutkan Isra`nya saja, belum termasuk Mi’raj. Sekadar contoh bagi orang-orang inkar Sunnah tentang mukjizat Nabi dalam Al-Qur`an.

[15] Al-Qamar: 1.

[16] At-Taubah: 40. Dalam kasus ini, orang-orang inkar Sunnah mengingkari bahwa yang menemani Nabi di gua Tsaur adalah Abu Bakar Ash-shiddiq, sebab Al-Qur`an tidak menyebutkan namanya!

[17] Ali Imran: 126.

[18] Lihat posisi Sunnah di hadapan Al-Qur`an dalam bantahan tuduhan sebelumnya.

[19] Al-A’raf: 12.

[20] HR. Ahmad (307), Muslim (2230), dan An-Nasa`i (2889).

[21] Khuf; semacam kaus kaki berbentuk sepatu tipis yang menutupi betis hingga telapak kaki.

[22] HR Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib, Kitab Ath-Thaharah/Bab Kaif Al-Mash/hadits nomor 140.

[23] As-Sunnah Mashdaran li Al-Ma’rifati wa Al-Hadharah/DR. Yusuf Al-Qaradhawi/hlm 99/Penerbit Dar Asy-Syuruq, Kairo/Cetakan Pertama/1997 M – 1417 H.

[24] Lihat artikel beliau berjudul “Min Muqawwimat Nuhudh Al-Ummah Al-Muslimah” di http://www.islamweb.net.qa/doha2000/20_deleme.htm.

[25] Sunan Ibni Majah/Kitab Al-Muqaddimah/Bab Fadhl Al-Ulama` wa Al-Hats ‘Ala Thalab Al-‘Ilm/hadits nomor 220.

 

2 Tanggapan

  1. […] Argumentasi Golongan Ingkar Sunnah […]

  2. mohon izin copas…………..

Tinggalkan komentar